SELAMAT DATANG DI BLOG RUSDI.TB SH,S.Sos MOGA ADA MANPAATNYA
SELAMAT DATANG DI BLOG RUSDI.TB SH,S.Sos MOGA ADA MANPAATNYA

Selasa, 08 Maret 2011

Pembangunansosial

STRATEGI PEMBANGUNAN SOSIAL

OLEH : DRS. PURWOWIBOWO, M.SI

Kumpulkan Pada Tgl. 23 Maret 2011. Call Person :0331-9137944
Di buat Max 10 min. 5 Lembar

I. Pendahuluan
Di dalam diktat sebelumnya telah dikemukakan berbagai teori tentang issu Pembangunan Sosial. Dalam diktat ini pembahasan teoritis terus dilakukan untuk menguji dan menseleksi berbagai program, kebijakan, dan strategi yang telah digunakan beberapa tahun terakhir ini guna mendorong pembangunan sosial. Ketika suatu teori itu sangat penting dan tepat digunakan di bidang tertentu, pembangunan sosial utamanya menghadapi masalah praktis menyangkut kelayakan program, kebijakan, dan strategi guna mewujudkan suatu tujuan yang bersifat khusus. Berbagai kegiatan praktis masih diperlukan pembahasan yang lebih rinci lagi.
Namun, telah disadari bahwa teori dan praktik di dalam pembangunan sosial tidak bisa dipisahkan diantara keduanya. Teori melandasi praktik pembangunan sosial, dan berbagai pengalaman praktis yang ditemui dapat memperkaya teori pembangunan sosial, kemudian setelah itu bisa dijadikan kerangka pemikiran teoritis. Hubungan antar teori dengan praktik sangatlah jelas ketika secara normatif pembangunan sosial diuji dalam kenyataan. Sebagaimana diuraikan di dalam sebelumnya, strategi pembangunan sosial didasarkan pada pendekatan ideologis yang berbeda-beda, yang perbedaan itu ditekankan pada keyakinan dan nilai tertentu. Secara taksonomi ideologi yang ditunjukkan di dalam bab sebelumnya sangat berguna sebagai dasar untuk mengklasifikasi berbagai strategi yang akan dibahas di dalam diktat ini.
Dengan menggunakan pendekatan taksonomi, ada 3 model utama strategi pembangunan sosial yang akan dibahas. Pertama, pembahasannya adalah strategi pembangunan sosial yang merupakan kunci utama di dalam mendorong peningkatan kapasitas pada individu (capacity building). Kedua, dalam hal ini pembahasan strateginya dengan menekankan peran masyarakat lokal untuk menggerakkan pembangunan sosial. Ketiga, di dalam bab ini dapat disimpulkan bahwa berbagai strategi yang telah dibahas sangat tergantung sepenuhnya kepada “political will” pemerintah di dalam mendorong terwujudnya pembangunan sosial.
Guna membahas rencana praktik pembangunan sosial beberapa istilah digunakan seperti kebijakan, perencanaan, program, proyek, dan strategi. Ketika berbagai terminologi atau konsep tersebut tepat maknanya, maka akan dapat digunakan di antara konsep itu secara bergantian. Kata strategi sudah sering digunakan terutama di dalam mengorganisir suatu kegiatan, khususnya dalam program yang berskala besar untuk mencapai tujuan pembangunan sosial. Karena merupakan program dan proyek yang orientasi ideologisnya dan model intervensinya juga sama.
Ketika berbagai strategi yang dilandasi tafsiran yang berbeda itu digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan sosial, maka semuanya akan memberikan sumbangan bagi terwujudnya kesejahteraan manusia, dan bisa menjadi upaya terbaik di dalam meningkatkan pembangunan sosial, serta tidak menyimpang dari konteks pembangunan ekonomi. Strategi yang demikian itu akan dibahas di dalam bab ini. Jadi perhatian strategi pembangunan sosial bukan hanya berhubungan dengan issu kesejahteraan, tetapi juga keselarasan antara intervensi sosial dengan kegiatan pembangunan ekonomi. Hal itu akan terlihat pada berbagai strategi, khususnya jika fokus kegiatannya pada pembangunan ekonomi dan bidang lainnya bisa menyumbangkan intervensi sosial di dalam pembangunan ekonomi. Apapun yang dilakukan, berbagai perbedaan pendekatan lain dalam meningkatkan kesejahteraan tentu selalu berhubungan dengan pembangunan ekonomi.











II. Pembangunan Sosial melalui Pendekatan Individual
Sebagaimana ada dalam uraian bab sebelumnya, peningkatan kesejahteraan dapat dicapai ketika individu dapat mencapai kesejahteraan sosialnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing, hal ini merupakan prinsip dari ideologi individualisme orang Barat dan merupakan prinsip sistem ekonomi kapitalisme modern. Pencetus pendekatan ini yakin bahwa kesejahteraan seluruh masyarakat dapat diraih atau dicapai jika individu-individu berusaha keras untuk mencapai kesejahteraannya masing-masing. Konsep normatif demikian juga mendasari pendekatan individualistik dan budaya dalam pembangunan sosial.
Walaupun ideologi individualistik merupakan prinsip yang kurang populer dalam kerangka pembangunan sosial, kebanyakan pembela model pembangunan sosial menempatkan pemerintah dan masyarakat untuk terlibat dan mengatur melalui intervensi. Kebanyakan mereka yakin bahwa pendekatan individualistik selalu bertentangan dengan komitmen pembangunan sosial yang selalu mengembangkan masyarakat melalui issu ekonomi dan sosial. Munculnya idea ini sesungguhnya bermula dari tujuan pembangunan sosial dapat dicapai dengan konsep yang sederhana yakni setiap manusia dapat bertanggung jawab terhadap kesejahteraannya sendiri.
Pendekatan individualistik yang demikian sesungguhnya sangatlah berbeda dengan pendekatan pasar bebas yang merupakan bentuk ideal bahwa manusia sesungguhnya akan percaya diri dan dengan sendirinya dapat berpartisipasi secara efektif di pasar. Ketika pendahulu pendekatan ini secara dogmatis menegaskan bahwa posisi tidak mengintervensi oleh pemerintah itu hanyalah dimaksudkan agar individu dapat mengadopsi sendiri apa yang harus dilakukan dalam memperkuat fungsi dirinya, menciptakan lebih banyak peluang dengan bersentuhan terhadap budaya perusahaan, fasilitas produksi di masyarakat dan pasar.
Pendekatan di atas sekarang ini lebih populer dalam rangka pembangunan sosial di waktu terakhir ini. Hal tersebut disampaikan para penganjur pendekatan ini yang tidak yakin bahwa kesejahteraan sosial merupakan hasil otomatis dari pencarian secara ekonomis, dan mereka menyatakan bahwa intervensi dari pemerintah dan organisasi sosial lainnya diperlukan untuk mendorong pembangunan sosial dengan konteks ekonomi pasar. Keyakinan atas intervensi tersebut merupakan ciri pendekatan individualistik dalam pembangunan sosial saat ini. Kebijakan dan program yang berbeda telah dianjurkan dan selalu mendorong pendekatan individualistik. Hal itu merupakan intervensi dalam skala yang besar dengan membentuk budaya perusahaan yang kondusif sehingga dapat mendorong suksesnya individu. Sekecil apapun intervensi yang dilakukan oleh pemerintah akan bisa membantu keluarga berpendapatan rendah, usaha kecil, dan yang tergolong dalam sektor informal dapat bergerak secara efektif di dalam pasar. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya beberapa pekerja sosial telah juga berusaha menerapkan pendekatan individu dengan memperkuat fungsi dan relasi pribadi dalam hubungannya dengan budaya berwirausaha atau interprenur.

2.1 Mendorong Budaya Berwirausaha Guna Melaksanakan Pembangunan Sosial
Pendekatan individualis hanya akan efektif jika ada semangat ekonomi yang memberikan kesempatan bagi individu untuk berkembang dan berfungsi sebagai pelaku ekonomi yang rasional. Dengan semangat ekonomi, individu dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, keluarganya, jikalau mereka mempunyai pekerjaan, kesempatan berusaha, dan adanya prospek investasi yang baik. Ketika mereka tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri disebabkan ekonominya mandeg dan pendapatannya berkurang, setiap usaha harus dilakukan agar dapat menjamin ekonomi tumbuh kembali dan masyarakat dapat berpartisipasi secara efektif di dalam kegiatan ekonomi produktif.
Individu dalam strategi ini didorong agar tumbuh budaya berwirausaha secara positif, yang difasilitasi oleh pemerintah dan berbagai organisasi lain untuk tumbuh berkembangnya usaha secara individual. Meskipun setiap orang sesungguhnya mempunyai bakat berwirausaha di dalam dirinya, kemampuannya tidak akan terwujud jika pasar tidak memberikan kesempatan kepada individu, sehingga bakat akan berwirausaha akan mati. Untuk bisa menumbuhkan budaya berwirausaha diperlukan tindakan tertentu untuk memaksimalkan kesempatan yang ada kepada individu untuk berpartisipasi dan berfungsi di dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Pembahasan tentang pendekatan yang lebih modern akan dibahas di bagian akhir bab ini dan masih memerlukan partisipasi pemerintah untuk menciptakan semacam ekonomi kapitalis yang dinamis dan lebih menempatkan masyarakat yang tergolong kelas ekonomi miskin. Teori modernisasi mendorong pemerintah memobilisir sumberdaya yang ada untuk digunakan sebagai modal investasi di bidang industri dan usaha ekonomi produktif lainnya, sehingga dapat memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan kerja melalui strategi penciptaan perluasan kesempatan kerja, dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Hal tersebut dapat diwujudkan jika dibantu dengan pengurangan konsumsi pemerintah dan pemerintah harus menciptakan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya sehingga sumberdaya yang ada dapat bergerak dalam bentuk ekonomi produktif. Sebagaimana disampaikan oleh Rostow (1967), yakni bahwa pemerintah dapat memobilisasi investasi untuk pengembangan industrialisasi menuju tinggal landas, yaitu suatu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Jika demikian, maka akan dapat menciptakan penghasilan bagi pekerja dalam skala yang sangat luas, sehingga dapat memberikan kesempatan bekerja bagi petani di pedesaan, buruh tani dapat memperoleh pekerjaan di berbagai usaha baru, dan berkembangnya perusahaan kecil yang lebih modern. Selanjutnya dengan adanya upah maka pendapatan menjadi naik, dan mereka akan membelanjakan sebagian pendapatannya untuk membeli barang-barang kebutuhan dan jasa di dalam pasar modern, sehingga terjadi peningkatan permintaan dan dapat mendorong perluasan ekonomi berikutnya.
Pendekatan modernisasi telah diadopsi oleh banyak negara berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Teori modernisasi, dalam kenyataannya merupakan abstraksi dari pengalaman negara industri maju yang mengalami tranformasi ekonomi sebagai hasil industrialisasinya. Hal tersebut merupakan keberhasilan rekontruksi ekonomi Jerman dan Jepang setelah perang dunia kedua dengan jalan melakukan kebijakan memobilisasi modal guna pengembangan industri dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Uni Sovyet dan negara Eropa Timur yang komunis juga menekankan keberlangsungan pertumbuhan ekonomi, walaupun di negara-negara tersebut perencanaan pembangunan bersifat sentralistik bila dibandingkan dengan kebebasan pasar, di dalam proses industrialisasinya.
Ketika kebanyakan negara dunia ketiga pemerintahnya mengadopsi teori modernisasi sebagai pendekatan pembangunannya, mereka tidak mengimplementasikan secara keseluruhan sebagaimana dianjurkan oleh pemikir pendekatan modernisasi. Pemerintah di beberapa negara berkembang ada yang mampu memobilisir modal yang diperlukan dari donatur dana masyarakat, dan sebagian besar negara lainnya meminjam modal dari pasar internasional untuk membiayai proses pembangunannya.
Konsumtif sedikit dibatasi dan lebih mengembangkan pendidikan serta penangan sosial lainnya (Midgley, 1989). Kebanyakan negara juga mengadopsi perencanaan dengan berusaha secara langsung melakukan pembangunan ekonominya. Sebagian negara mengusahakan sistem pasar bebas yang telah disarankan oleh penganjur pendekatan modernisasi. Di tahun 1980-an, ditandai dengan sedikit keberhasilan dalam pertumbuhan ekonomi, banyak negara berkembang lainnya menghadapi beban hutang yang sangat besar. IMF (International Moneter Fund) dan Bank Dunia, melaporkan bahwa banyak negara peminjam hutang dipaksa menyesuaikan ukuran-ukuran struktural ekonomi dengan jalan menurunkan standar pertumbuhannya, mengurangi intervensi negara dan menunda pembayaran hutangnya. Hasilnya, banyak negara berkembang mengalami penderitaan akibat kemunduran ekonomi dan pembangunan sosial yang dijalankan.
Namun, penganjur pendekatan individual masih dapat menghargai pembangunan yang dilaksanakan dengan menuntut penyesuaian kebijakan struktural di bidang ekonomi, sehingga bisa menimbulkan semangat dinamis kapitalisme yang diperlukan bagi pembangunan. Titik beratnya pada pengurangan peran negara pada bidang ekonomi, program nasionalisasi, pembuatan peraturan baru, privatisasi untuk mendorong suasana baru bagi munculnya jiwa kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang. Serupa dengan hal di atas, runtuhnya fahan komunisme di negara Uni Sovyet dan Eropa Timur, dan juga liberalisasi ekonomi di Cina, telah memunculkan potensi kreatif jutaan orang. Di negara Barat, ketika banyak perusahaan besar mengalami kemunduran, optimisme baru bangkit kembali dengan munculnya usaha kecil dan kesempatan berwirausaha.
Penganjur pendekatan modernisasi menjelaskan bahwa perluasan secara dinamis ditunjukkan oleh perekonomian Asia Timur yang budaya berwirausahanya dapat ditularkan kepada masyarkatnya. Mereka yakin bahwa mengadopsi kebijakan dengan mendorong wirausaha, persaingan, dan inisiatif dapat mendorong perubahan secara dramatis kepada semua orang berpenghasilan rendah dan masyarakat secara luas.
Idea ini secara luas telah mendorong pemerintahan di seluruh dunia di tahun terakhir ini. Lembaga internasional sebagai contoh, UNDP, membuat laporan tentang Indeks Pembangunan Manusia, peran pemerintah dalam mengendalikan pasar, inisiatif individu dan keteguhan hati masyarakat telah mendorong kesejahteraan sosial. Salah satu laporan UNDP, mendifinisikan pembangunan sosial sebagai suatu proses yang secara luas memberikan pilihan kepada semua orang untuk memutuskan apa yang diinginkan, apapun pilihannya adalah suatu yang dapat menjamin kehidupannya. Bank Dunia, juga menekankan perlunya mendorong budaya berwirausaha untuk dibawa ke dalam pembangunan sosial. Dalam laporannya yang berjudul “Tantangan Pembangunan”, Bank Dunia menjelaskan perlunya mengadopsi konsep “pasar ramah” yang merupakan strategi pembangunan yang membatasi intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi, mempermudah regulasi, mendorong persaingan sehat, memperluas investasi, serta mendorong integrasi dengan perekonomian global.
Namun, bagi penganut anti kemapanan, tidak setuju dengan semua yang ada di dalam pendekatan individu. Beberapa dari mereka menjelaskan bahwa pemerintah memegang peran penting untuk memainkan peran di dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk mendorong jiwa kewirausahaan, menciptakan berbagai lapangan kerja, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kebanyakan penganjur modernisasi ekonomi yakin bahwa pemerintah harus memandu secara langsung proses pertumbuhan ekonomi. Tambahan lagi, banyak negara yakin bahwa pemerintah harus menciptakan lembaga atau institusi pembangunan yang digunakan secara luas.
Konsep lembaga pembangunan telah digunakan di dalam proses pembangunan di beberapa tahun terakhir ini, tetapi sampai sekarang belum jelas konsep dan definisinya. Beberapa ahli menggunakan konsep lembaga pembangunan dengan merujuk pada kemampuan masyarakat lokal dalam menyelenggarakan sendiri pembangunannya dengan jalan membuat kelompok-kelompok kecil yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan memperluas kesempatan berinteraksi di dalam masyarakat. Lembaga pembangunan juga bermakna munculnya organisasi formal yang bisa mendorong modernisasi ekonomi, selain itu lembanga pembangunan ditandai dengan munculnya organisasi keahlian dan organisasi teknis. Akhir-akhir ini, lembaga pembangunan muncul juga di Eropa Timur, untuk menjelaskan adanya modernisasi lembaga ekonomi dengan terbentuknya pasar bebas. Hal ini termasuk lembaga legeslatif agar dapat berperan mendorong perdagangan, mengatur kontrak kerja (MoU), dan mengatur kepemilikan, membuka bank-bank dan lembaga kredit lainnya, sehingga terjamin persediaan barang, mengatur standar upah minimum, pembentukan agen-agen ekonomi, menginventarisir perusahan komersial, memberikan hak paten, dan menyediakan layanan yang dibutuhkan dalam mengoperasionalisasikan ekonomi pasar.
Terakhir, konsep pembangunan industri dengan pembentukan lembaga ekonomi seperti disebutkan di atas sering digunakan oleh penganjur pendekatan individualisme. Mereka menjelaskan bahwa individu akan mampu meningkatkan kesejahteraannya dan tidak tergantung serta bisa mandiri jika pemerintah menciptakan lembaga pembangunan yang bisa memberikan fasilitas yang efisien yang diperlukan pasar. Hal itu karena, munculnya lembaga pembangunan akan dengan sendirinya membentuk pasar dan memperkuat lembaga tersebut sehingga berfungsi secara efektif.

2.2 Mendorong Tumbuhnya Usaha Kecil demi Kebutuhan Fakir Miskin
Pendukung pendekatan individual juga yakin bahwa pemerintah mampu menciptakan peluang yang kondusif untuk tumbuhnya wirausaha kecil yang diperuntukan bagi orang miskin, guna membangkitkan mereka untuk mencapai kesejahteraan sosial yang diperlukan. Pendekatan ini agak berbeda dengan pendekatan modernisasi ekonomi seperti yang dibahas sebelumnya. Dijelaskan di depan bahwa pendekatan modernisasi mendasarkan mobilisasi modal guna pembangunan industri dalam skala besar dan untuk menciptakan lapangan kerja. Industri memang dapat menyerap banyak tenaga kerja, yang kemudian diikuti dengan memperoleh pendapatan bagi masyarakat sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penganjur pendekatan individualistik yang berbasis pada wirausaha kecil mengkritik banyak aspek tentang pendekatan modernisasi. Intinya adalah bahwa jika negara berpendapatan kecil, maka negara tidak akan mampu menciptakan lapangan kerja dan membayar upah kerja orang miskin yang layak bagi kehidupan mereka. Perhatian pembangunan industri menunjukkan bahwa suatu hal yang terlalu muluk dan tinggi bagi negara berkembang, (Ernest Schumacher, 1974) menjelaskan bahwa tidak hanya pembangunan industri yang gagal meningkatkan standar hidup di banyak negara berkembang, tetapi juga telah menghasilkan polusi bagi lingkungan yang sangat luas. Pembangunan industri juga mengandung masalah di dalam dirinya yakni hilangnya pengembangan wirausahawan kecil di tingkat lokal. Jika individu mampu menciptakan wirausaha baru sendiri, ekonomi akan tumbuh berkembang dan meluas sampai ke tingkat lokal dan akhirnya meluas serta menciptakan investasi baru. Hal itu juga akan memunculkan budaya berwirausaha yang dinamis. Pembela pendekatan tersebut yakin bahwa pendekatan individual merupakan prospek yang paling baik untuk orang miskin berpartisipasi secara efektif di dalam ekonomi pasar dan dapat memperkuat kesejahteraan orang miskin itu sendiri melalui usaha yang mereka lakukan.
Usaha kecil menjadi sangat menarik saat ini karena merupakan mekanisme bagi terwujudnya pembangunan sosial serta dengan melakukan identifikasi sektor informal. Tahun 1970-an secara luas disadari bahwa telah terjadi sebaliknya tentang teori modernisasi yakni di banyak negara berkembang tidak tercipta lapangan kerja yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, justru sektor informal telah mengajarkan kepada kita bahwa sektor ini telah mampu menyerap banyak tenaga kerja. Sektor modern juga tidak mampu berkembang cukup baik, yang terjadi adalah sedikit investasi, meluasnya praktik korupsi, perencanaan pembangunan yang jelek, dan terlalu banyak peraturan perundangan, sehingga sektor modern juga tidak berkembang. Di banyak negara berkembang, hal-hal tersebut juga masih disertai dengan tidak tepatnya kebijakan tentang penciptaan lapangan kerja, bidang jasa, yang akhirnya menghasilkan upah buruh yang rendah di sektor modern. Perlindungan yang berlebihan oleh serikat pekerja, regulasi pemerintah yang berlebihan, kekuasaan partai politik yang kuat dan program asuransi sosial yang melayani hanya penerima upah bagi karyawan tertentu. Ketika para aristrokrat pemerintahan mendapatkan keuntungan yang banyak dari praktik demikian, bagian terbesar masyarakat justru tidak mendapatkan akses yang memadai untuk memasuki dunia kerja yang memadai dan hal demikian sampai kepada sektor yang ditekuni orang miskin di wilayah perkotaan dan perdesaan.
Di akhir tahun 1960-an, badan tenaga kerja internasional (ILO) menaruh perhatian terhadap masalah tenaga kerja dan buruh di berbagai negara berkembang. Di bawah program tenaga kerja dunia, komisi meneliti secara mendalam masalah pengangguran yang meluas, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat, dan akhirnya membuat rekomendasi mengenai cara mengatasi masalah tenaga kerja produktif di berbagai negara. Tiga negara di antaranya mewakili wilayah tertentu yakni Kolombia, Sri Lanka, dan Kenya. ILO mempelajari tenaga kerja di Kenya yang mengadopsi dasar pemikiran teori modernisasi dan negara tersebut menganggap bahwa penciptaan lapangan kerja di sektor formal merupakan langkah yang tepat dalam melaksanakan pembangunan sosial.
Komisi Kenya menemukan bahwa tingkat pengangguran sangat tinggi, ketika konsep tentang umur tenaga kerja diterapkan yaitu ukuran bekerja hanya pada tenaga kerja yang mendapatkan penghasilan teratur secara terus menerus atau tetap. Jelas bahwa hanya sedikit proporsi tenaga kerja di Kenya yang mempunyai pekerjaan tetap. Hal itu bukan berarti bahwa pengangguran adalah mereka yang malas, atau adanya asuransi bagi para penganggur yang sedang mencari kerja. Dalam kenyataannya membuktikan bahwa tidak ada asuransi pengangguran, kebanyakan penganggur sesungguhnya aktif di bidang ekonomi pasar, tidak seperti karyawan kantoran, tetapi mereka sebagai pekerja di sektor informal di berbagai usaha kecil mulai bekerja di belakang toko sebagai pekerja kasar sampai dengan penjaja keliling di pinggir jalan.
Banyak wirausahawan kecil demikian memiliki usahanya sendiri, dijalankan dengan seluruh keluarganya dan hanya sedikit yang memiliki karyawan. Sedangkan yang lain sangat produktif dan banyak mempunyai karyawan, terkadang tidak menggunakan teknologi modern, tidak teratur manajemennya, sampai kepada yang tidak legal. Walaupun demikian ILO menegaskan bahwa usaha kecil di sektor informal telah memberikan kesempatan kepada individu untuk menerapkan keahliannya di bidang wirausaha, membangkitkan motivasinya serta dapat memperkuat kesejahteraan mereka sendiri.
Studi terhadap Kenya juga menghasilkan bahwa sektor informal memberikan sumbangan tidak sedikit terhadap ekonomi nasional sebagaimana yang diharapkan. Sudah dicatat di depan bahwa banyaknya serapan tenaga kerja di sektor informal jauh dari apa yang disebutkan, tetapi telah menghasilkan ekonomi produktif yang mengenal efisiensi dan menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. ILO (1972) menyebutkan dalam laporannya bahwa pemerintah Kenya memandang sektor informal sebagai sumberdaya pembangunan yang positif dan bisa menerima kebijakan yang dapat mendorong dan menyumbang pertumbuhan ekonomi.
Menyimak laporan hasil penelitian di Kenya, banyak sektor informal dan mereka memberikan sumbangan kepada pembangunan sebagaimana telah dipublikasikan. Sektor informal juga terkenal dengan sebutan sebagai ”sektor ekonomi tidak syah”, sektor tidak tetap, ekonomi kelas bawah dan bahkan sebagai ekonomi hitam. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya sektor informal terdiri dari berbagai macam usaha besar dan kecil termasuk pelayanan jasa yang mudah dilakukan oleh mereka. Sektor informal juga merupakan aktivitas ekonomi yang menawan hati karena sebagai suatu sektor yang juga memperhatikan pengemis dan juga sebagai keranjang sampah untuk menampung golongan ekonomi bawah. Banyak penelitian menunjukkan bahwa sektor informal adalah suatu sektor yang tidak pernah penuh. Muzumdar (1976) melaporkan hasil penelitiannya bahwa sekitar 50% sampai 70% dari tenaga kerja perkotaan memasuki sektor ini di negara-negara sedang berkembang. Perkiraan terakhir oleh ILO menyebutkan bahwa di tahun 1985 kota-kota di Afrika menampung sektor informal mulai dari yang paling rendah yakni 44% di Abijan dan lebih dari 95% di Benin.
Sikap optimis secara khusus mengenai sektor informal disampaikan oleh Hernando de Soto (1989), dia mengkritik kebijakan yang menyatakan bahwa pemerintah Amerika Latin menggunakan kekerasan untuk mengatur keberadaan sektor informal. Sejak itu kekuatan mayoritas dari sektor informal mulai diabaikan, orang-orang umumnya yang bekerja di sektor ini bisa menyandarkan hidupnya sendiri dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa harus mengandalkan bantuan pemerintah.
Tulisan khusus tentang sektor informal di Peru, de Soto menunjukkan bahwa sektor ini telah sukses menyediakan kebutuhan sendiri maupun yang disediakan oleh pemerintah. Tambahan lagi, suksesnya kegiatan sektor informal tidak terpengaruh jatuhnya ekonomi suatu negara. Ketika pemerintah membuat perumahan untuk penduduk yang berpenghasilan kecil, 42% penduduk kota Lima perumahannya disediakan oleh wirausahawan di sektor informal. 91.000 gelandangan mendominasi perdagangan di bidang eceran kecil dan mampu memberikan sumbangan kepada 300.000 penduduk yang miskin. Disamping pemerintah berusaha untuk menyediakan angkutan umum, 93% alat tranportasi dimiliki oleh wirausahawan di sektor informal. Kegiatannya merupakan langkah alternatif yang dinamis bagi keberadaan ekonomi merkantilis dan bentuk dasar dari pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Pada awalnya, penelitian tentang sektor informal terkonsentrasi pada penduduk perkotaan, tetapi sekarang juga dilakukan penelitian terhadap sektor informal di perdesaan, yang menyangkut pelayanan jasa, wirausahawan di bidang industri kecil di sektor pertanian. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya bahwa kegiatan sektor informal juga terdapat di negara industri maju, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan rendah dan masyarakat imigran. Tambahan lagi, Sergio dan Dellagio (1987) mengatakan bahwa kegiatan sektor informal menyebar luas di negara komunis, meskipun terkadang kegiatan itu dilarang. Menurut faham komunis kegiatan yang demikan menjadi tidak umum dilakukan.
Sejak ditemukannya sektor informal, banyak para ahli ilmu sosial menjelaskan bahwa pertumbuhan wirausahawan kecil merupakan prospek terbaik untuk pembangunan. Argumentasinya adalah bahwa sektor informal ada di negara maju dan juga di negara berkembang. Di negara maju, seperti Amerika Serikat, menganggap pentingnya wirausahawan kecil di dalam ekonomi nasional di tahun-tahun terakhir ini. Banyak penulis menjelaskan bahwa banyaknya pabrik dan perusahaan justru tidak menyerap banyak tenaga kerja, dan sektor informal kemudian bermunculan. Peter Drucker (1985) mencontohkan bahwa 500 perusahaan besar gulung tikar (bangkrut) dan menyebabkan 4 sampai 6 juta orang kehilangan pekerjaan (1970-1980), ketika itu justru usaha kecil dan menengah mampu menciptakan lapangan kerja sampai 35-40 juta orang. Banyak penganjur usaha kecil yakin bahwa usaha kecil di sektor informal menyubang lebih dinamis dan berkelanjutan budaya berwirausaha daripada industri besar dan kemudian menjadi harapan bagi perkembangan ekonomi di masa depan.
Di sisi lain, beberapa penulis memperingatkan bahwa sektor informal tidak berkenaan dengan ”obat mujarab” untuk mengatasi masalah ekonomi. Sebagian yakin bahwa tranformasi dari ekonomi kecil tidak akan terwadahi jika tanpa intervensi besar-besaran di sektor industri modern dan penciptaan upah minimal buruh dalam skala yang luas. Ahli lainnya juga menyadari bahwa sektor informal merupakan fokus utama bagi usaha pembangunan sosial. Bromley dan Gerry (1979) mengungkapkan contoh bahwa banyak sektor informal yang membayar upah sangat kecil atau rendah dan selalu menuntut pemerintah, dan terkadang mereka tidak siap dengan pemberian kesempatan yang luas dari pemerintah. Banyak kegiatan di sektor informal seperti pembantu rumah tangga, dan jasa rumah tangga lainnya yang dianggap suatu pekerjaan yang tidak produktif dan seringkali terjadi eksploitasi atas manusia lainnya. Analisis berbeda telah dilakukan dan hasilnya secara signifikan menunjukkan bahwa pandangan optimis tentang sektor informal merupakan prospek terbaik untuk meningkatkan ekonomi pasar di negara berkembang.
Walaupun demikian, penganjur pendekatan individualis menjelaskan bahwa pemerintah harus menerima ukuran tertentu yang mendorong dan memperkuat usaha kecil untuk menghadapi tidak hanya ekonomi tetapi juga pembangunan sosial. Karena sektor usaha kecil diyakini mampu menyediakan kesempatan yang baik bagi orang miskin untuk menangkap peluang di dalam kegiatan ekonomi produktif. Di negara berkembang, terlalu murah untuk meningkatkan aktivitas mereka ketimbang memobilisasi modal dalam mengembangkan industri modern dan besar yang bisa menciptakan banyak lapangan kerja. Pandangan bahwa usaha kecil menggantikan tenaga kerja dengan teknologi, ternyata sektor informal lebih menggunakan buruh secara intensif dan kemungkinan lebih banyak menciptakan lapangan kerja. Sektor informal mungkin juga mendorong terhadap keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang dan lebih adaptif dalam menghadapi perubahan kebutuhan lokal dan lingkungannya.
Salah satu rekomendasi bahwa pemerintah mudah menindas tempat mangkal sektor informal. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemerintah lebih banyak menindas mereka daripada melindungi usaha kecil. Banyak negara sedang berkembang mempunyai hukum dan peraturan yang membuat usaha di sektor informal disebut ilegal atau tidak syah. Tambahan pula bahwa pemerintah memburu sektor informal karena pada umumnya mereka menghindar dari pajak, peraturan perijinan, hukum perburuhan negara, kondisi kerja yang tidak layak, pembayaran keamanan sosial, dan peraturan upah kerja. Walaupun demikian, berdasarkan laporan ILO dari Kenya di tahun 1970-an sejumlah pemerintah dengan mudah melarang mereka atau menekan jangan sampai menjadi suatu kekuatan yang besar. Banyak yang lainnya bisa menerima rencana kebijakan yang bermaksud untuk meningkatkan kegiatan di sekor informal. Di lain pihak, beberapa pemerintah juga melakukan penekanan terhadap kegiatan sektor informal dan hanya sedikit yang melakukan pelarangan.
Tambahan lagi, untuk membuat kebijakan yang melarang usaha di sektor informal, sejumlah aturan khusus diadakan dengan maksud bisa mendorong pertumbuhan usaha kecil. Banyak pakar menyarankan kepada pemerintah bahwa untuk meningkatkan usaha mereka pemerintah harus memberikan kredit, membangun infrastruktur seperti sentra industri yang dapat menampung usaha kecil, melatih wirausahawan di dalam manajemen, dan menyediakan layanan jasa untuk membantu usaha kecil dalam desain produk tertentu, pemasaran, perencanaan keuangan, dan aktivitas sehari-hari lainnya. Kebutuhan untuk menyelaraskan antara sektor informal dengan industri besar di sektor formal merupakan hal yang sangat penting. Para pakar menyarankan bahwa pemerintah harus meningkatkan pelayanan jasa dan barang yang mereka butuhkan di sektor ini dan mendorong perluasan sektor informal melakukan sub kontrak dengan perusahaan besar. Walaupun terkadang menghindar, bank komersial, perusahaan di sektor swasta besar harus mau berinteraksi dan menyediakan layanan kepada usaha kecil ini.
Sekarang banyak pemerintah yang aktif di dalam mendorong terciptanya usaha kecil di antara orang miskin, termasuk mereka yang memerlukan bantuan teknis kepada pemerintah. Philipina merupakan negara yang memulai pertama kali menggunakan pendekatan usaha kecil untuk mendorong produsen kecil di daerah perkotaan dan pedesaan serta membantu mereka di dalam memperkuat ketrampilannya. Lembaga internasional yang menggunakan pendekatan demikian. Sejak kertas kerja tentang sektor informal dipublikasikan oleh Bank Dunia di tahun 1978, lembaga ini juga telah ada usaha untuk meningkatkan pengembangan aktivitas di sektor informal di antara orang miskin sampai kepada bantuan teknisnya. Lembaga internasional lainnya juga, seperti Bank Pembangunan Amerika, juga telah berusaha melakukan pendekatan demikian dan keberhasilannya telah dicatat. Sebagai contoh, Bank tersebut menyatakan bahwa telah memberikan pinjaman lebih dari 72 juta dolar untuk mengembangkan usaha kecil selama dekade sebelumnya. Selain itu juga telah menghasilkan tidak kurang dari 162 pengusaha sukses di bidang pertanian yang berpenghasilan rendah, industri kecil, toko eceran, kerajinan dan sektor perikanan. Kegiatannya juga sangat cocok dengan pendekatan individualistik dalam pembangunan sosial. Mereka juga cocok dengan pasar ramah sebagai strategi yang akhir-akhir ini di dorong oleh Bank Dunia dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP).

2.3 Usaha Kesejahteraan Sosial dengan Strategi Memperkuat Individu.
Penganjur Pendekatan Individual yakin bahwa individu akan memenuhi kebutuhan sosialnya sendiri, untuk itu mereka harus mampu befungsi secara efektif, dan percaya diri menghadapi persaingan di dalam budaya berwirausaha. Strategi untuk mewujudkan budaya berwirausaha dan untuk membangkitkan kesempatan berusaha di bidang usaha kecil akan berjalan efektif jika orang bisa menggunakan kesempatannya. Namun, banyak individu tidak mampu memfungsikan secara sempurna kemampupan di dalam sistem kapitalis yang sedang melanda dunia. Banyak orang tidak percaya diri, rendah diri, menyadari rendahnya kemampupan dalam mengatasi masalahnya sendiri, orang yang demikian tidak mampu menggunakan kemampuannya untuk mengatasi masalah yang terjadi. Orang yang lainnya lagi dalam kondisi yang sangat miskin, tidak mempunyai motivasi apa-apa, tidak mempunyai alternatif pilihan tertentu, untuk mengatasi dan menyongsong budaya individualistik yang sangat dominan sekarang ini. Alasannya adalah suatu langkah harus diambil untuk membantu individu dan menghilangkan faktor penghambat mereka, sehingga mereka dapat berfungsi secara efektif di dalam kehidupan masyarakat. Pendukung pendekatan ini yakin bahwa pekerjaan sosial akan mampu memberikan layanan terbaik atas masalah sosial yang terjadi seperti disebutkan di atas. Hal ini sesuai dengan konteks strategi pembangunan sosial yang menggantungkan pada sistem intervensi pekerjaan sosial.
Selama abad ke 19 berlangsung, ketika itu ide tentang pasar bebas sangat dominan di daratan Eropa dan Amerika Utara, ternyata waktu itu telah terjadi suatu keyakinan yang sangat luas bahwa menangani masalah sosial saat ini merupakan bentuk kesalahan fungsi dari individu itu sendiri. Kemiskinan pada umumnya sebagai tanda kegagalan fungsi individu. Secara umum telah diterima suatu solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan yakni berdasarkan atas model perbaikan kemampuan individu untuk menggunakan kesempatan di dalam produktivitas pasar. Sebagaimana di uraikan sebelumnya bahwa munculnya pekerjaan sosial sesungguhnya berasal dari upaya organisasi amal dan belas kasihan (charity). Masyarakat menyisakan masalah dari ketidakmampuan mereka dalam memecahkan masalah kemiskinan mereka sendiri. Relawan wanita (pekerja sosial) merupakan orang pertama kali sebagai pioner dalam melaksanakan pekerjaan sosial, mereka menyantuni orang miskin dan memberikan bantuan sosial serta ekonomi agar mereka menjadi ekonomis dan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Awal mulanya, mereka berusaha untuk membantu kliennya menemukan pekerjaan agar mereka dapat mengatasi masalahnya terutama masalah materi, yang hal ini menjadi penghalang munculnya kemampuan dirinya dalam berpartisipasi di dalam ekonomi produktif. Pada waktu itu, mereka menekankan faktor psikologis yang dianggapnya sebagai fungsi klien sebagai anggota masyarakat.
Di pertengahan abad 20 pekerja sosial lebih besar perhatiannya kepada pendekatan psikoterapi yang memperhatikan semua masalah sosial, termasuk kemiskinan, yang merupakan tanda tidak berfungsinya individu, pekerjaan sosial dalam hal ini secara khusus menangani kasus individual yang tidak mampu berfungsi, pendekatan yang digunakan adalah psikoterapi yang kala itu sangat dominan.
Untuk mengembangkan pembangunan sosial dengan lingkungan pekerjaan sosial, di tahun 1960-an dilakukan intervensi masalah sosial residual yang merupakan ciri dari profesi ini. Namun, disamping upaya itu, pendekatan individual terus diupayakan sebagai ciri pekerjaan sosial (intervensi). Hal ini mempengaruhi pelaksanaan pembangunan sosial yang beberapa pekerja sosial berperan dalam pembangunan sosial. Sama halnya dengan komitment profesi individualis, sebagaimana diuraikan di dalam bab sebelumnya, beberapa pekerja sosial seperti Henry Maas (1984) yakin bahwa tujuan pembangunan sosial dapat lebih baik jika masyarakat mau belajar untuk dapat berfungsi secara sempurna dan jika mereka dapat berinteraksi dengan anggota masyarakat lain dengan efektif dan baik.
Ketika banyak pekerja sosial menulis tentang pembangunan sosial dalam terminologi atau konsep individual, di sini tidak secara otomatis berhubungan dengan pendekatan kegiatan ekonomi, seperti Frank Faiva (1977) yang merupakan penulis pertama kali yang dirujuk oleh PBB, telah merumuskan konsep lengkap tentang pembangunan sosial yang menjadi rujukan lembaga tersebut. Pada waktu tersebut ia menerapkan pendekatan individual dalam pekerjaan sosial. Faiva yakin bahwa pendekatan demikian akan membantu individu untuk meningkatkan kualitas hidupnya sendiri yang dengan sendirinya akan terwujud tujuan pembangunan sosial. Meskipun Faiva membuat difinisi pembangunan sosial sebagai proses untuk memperkuat kemampuan individu dalam bekerja demi kesejahteraan diri sendiri dan masyarakat. Pendekatan demikian mengandung pengertian bahwa pekerjaan sosial dapat mendorong Pembangunan sosial dengan meningkatkan kemampuan pendidikan diri sehingga dapat berfungsi sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.
Ide bahwa pekerjaan sosial bisa melakukan pendidikan terhadap orang miskin sehingga dapat berfungsi secara efektif sebagai aktor ekonomi di bidang perekonomian, saat ini telah juga dilakukan di negara berkembang. Negara-negara tersebut, menyatakan bahwa pekerja-pekerja sosial telah melakukan kegiatan (intervensi) dengan membantu orang miskin menjadi pengusaha kecil yang bisa membangkitkan dan meningkatkan pendapatan mereka yang secara otomatis dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Di Philifina, ada kegiatan yang menawarkan pendekatan demikian. Sebagaimana disampaikan James Midgley (1980), melaporkan bahwa negara tersebut mempunyai program yakni pekerjaan sosial harus dapat meciptakan sebanyak mungkin pengusaha kecil mandiri. Walaupun usaha demikian tidak selamanya sukses dan terkadang banyak mendapatkan kritikan, hal itu dianggap sesuatu yang tidak tepat sebagai suatu pendekatan kesejahteraan atas dasar perekonomian pasar, paling tidak kegiatan demikian telah memberikan kesempatan kepada pekerja sosial untuk meletakkan masalah orang miskin sebagai basis kegiatannya dalam membantu mereka memenuhi kebutuhan materinya.
Pekerjaan sosial di negara industri tidak hanya menjadi pencipta usaha kecil mandiri yang kemudian berkembang dalam skala yang besar, tetapi juga ide ini sesungguhnya tidak merupakan hal yang baru, karena di tahun 1970-an, ketika muncul teori budaya kemiskinan (Lewis 1966) pengaruhnya sangat luas dan digunakan untuk menjelaskan kasus kemiskinan, agar pekerjaan sosial bisa mempekerjakan orang miskin dan merubah perilaku dan gaya hidupnya. Namun, sesungguhnya pekerjaan sosial telah menjadi bagian dari kegiatan semacam itu. Akhir-akhir ini pekerjaan sosial di IOWA telah memperkenalkan program untuk membantu orang miskin dengan bantuan sosial agar mereka dapat mandiri dalam usahanya dan menjadi efisien.
Walaupun pekerja sosial melakukan konseling dan terapi psikologis, pendekatan yang melekat untuk konseling bagi orang miskin agar dapat berfungsi secara maksimal di dalam perekonomian pasar masih sulit diwujudkan. Contohnya, di awal telah ditunjukkan bahwa awal pekerjaan sosial adalah mendorong mengembangkan usaha kecil, adalah merupakan praktik pekerjaan sosial secara langsung, yang tidak dirumuskan ke dalam suatu pendekatan khusus untuk mengatasi orang miskin. Namun prospek dalam merumuskan pendekatan pembangunan sosial dengan menggunakan teknik klinik pekerja sosial telah dilakukan dan dipublikasikan oleh Judith Lee (1988). Dia telah menguji peran pekerja sosial dalam intervensi praktik langsung terhadap orang miskin. Walaupun publikasinya tidak meng”cover” issu orang miskin secara luas, mereka telah berusaha merumuskan pendekatan ’treatment’ yang dianggapnya sesuai dengan pendekatan individual di dalam proses pembangunan sosial.
III. Pembangunan sosial melalui Komunitas .
Pandangan bahwa pembangunan sosial dapat dilaksanakan dengan baik melalui individu itu sendiri yang bekerja secara ekonomis, efisien dengan komunitas lokal merupakan dasar dari pendekatan komunitas bagi pembangunan sosial. Penganjur strategi ini yakin bahwa individu dan komunitas mempunyai hubungan simbiosis dalam mengorganisir mereka sendiri untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan mereka, masalah mereka dapat diselesaikan oleh mereka sendiri, dan kesempatan untuk berkembang maju potensinya ada pada mereka sendiri. Selain itu individu dan masyarkat juga mampu mencapai tujuannya sendiri, hanya saja mereka membutuhkan koordinasi dengan anggota masyarakat yang lain dan saling bertukar pikiran, ide satu dengan yang lain. Dengan langkah demikian mereka akan mampu mengotrol sumberdaya yang ada pada mereka sendiri (lokal) dan memecahkan masalah lokal yang dihadapinya. Mereka juga bisa lebih baik di dalam menempatkan sumberdaya internal mereka untuk meningkatkan pembangunan sosial di tingkat lokal.
Sebagaimana diuraikan di dalam bab sebelumnya, pendekatan komunitas sangat kuat dipengaruhi oleh ideologi yang populis. Penganjur pembangunan sosial atas dasar strategi komunitas ini, seringkali menggunakan istilah orang-orang atau semua orang akan melakukan peningkatan kesejahteraannya melalui individu dalam konteks kehidupan komunitas.
Merujuk uraian di bagian akhir bab sebelumnya, komunitas sangat berbeda dengan kolektivitas. Ketika konsep kolektivitas dimunculkan yang juga mendorong usaha kesejahteraan sosial melalui koperasi misalnya, membutuhkan sumberdaya yang dimiliki sendiri dan kemudian mengaturnya. Komunitas, tidak membutuhkan kepemilikan bersama semacam koperasi itu, tetapi menyarankan agar individu bekerja sama dengan individu lainnya untuk meningkatkan keterikatan sosial dengan konsep komunitas. Komunitas juga berbeda konsep dengan keadaan kolektif, komunitas merupakan suatu ide bahwa pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pembungunan. Lebih dari itu, mereka yakin bahwa pendekatan komunitas lebih efektif dari sekedar program pembangunan abadi oleh pemerintah, karena komunitas bisa mengatur dan mengelola sumber daya lokal mereka sendiri demi kepentingan mereka sendiri.
Pendekatan komunitas dalam pembangunan sosial telah dikenal secara luas diranah pembangunan sosial di seluruh dunia dan merupakan strategi yang berbeda di dalam rangka meningkatkan pembangunan sosial di seting komunitas yang telah dirumuskan sebelumnya. Tiga strategi tersebut akan dibahas di bagian ini. Pertama, disebut pembangunan komunitas, seperti halnya diuraikan di dalam bab sebelumnya. Asal mulanya konsep pembangunan komunitas muncul di masa kolonial dengan maksud untuk memobilisasi partisipasi masyarakat desa di dalam pembangunan ekonomi. Kedua, tindakan komunitas, yang sering dikatakan sebagai suatu pendekaan radikal dan keras. Ketiga, fokus utamanya adalah isu gender dan sumbangan wanita terhadap pembangunan sosial. Sebagaimana suatu komunitas, kebutuhan dan perspektif wanita seringkali tidak diperhatikan dalam kerangka konsep pembangunan pada umumnya, yang pembangunan itu sendiri telah menyebar ke seluruh dunia. Wanita selalu dalam posisi terpinggirkan dan terkekang. Walaupun ada kelompok wanita mempunyai suatu kegiatan yang lebih aktif di dalam kegiatan pembangunan sosial akhir-akhir ini. Wanita masih digolongkan ke dalam pendekatan yang berbasis gender yang penekanannya pada perhatian wanita dan perkembangan sosial, hal ini dapat muncul jika wanita secara penuh terlibat di dalam seluruh usaha pembangunan.

3.1 Pegembangan Komunitas dan Pembangunan Sosial
Sejarah pembangunan sosial telah diuraikan di dalam bab sebelumnya yang konsepnya sudah dijalankan oleh pemerintah kolonial Inggris, yang intinya menyangkut dua hal yakni kebijakan sosial pemerintah kolonial atas negara jajahannya yang dinamakan dengan Penanganan Kesejahteraan Sosial Remedial dan Pembangunan Komunitas. Hal itu juga ditunjukkan adanya pembangunan komunitas telah diusahakan oleh pemerintah kolonial menyangkut bidang kesejahteraan sosial di bawah departemen kesejahteraan sosial dengan maksud dapat menyumbang secara positif pembangunan ekonomi.
Walaupun pengembangan komunitas merupakan strategi utama dari pembangunan sosial di tahun 1940-an, namun mempunyai sejarah panjang. Sebelum masa kolonial, banyak masyarakat primitif yang telah mempunyai tradisi-tradisi kebersamaan di dalam bentuk gotong royong atau kerjasama, dan juga kepemilikan bersama di berbagai kehidupan. Bentuk pemerintahan tradisional telah berakar di dalam kehidupan masyarakat lokal dan hal tersebut diakui oleh pemerintah kolonial. Di banyak kasus, kewenangan kepemimpinan tradisional telah diakui dan masuk ke dalam sistim kontrol pemerintahan kolonial. Tokoh masyarakat atau pemimpin lokal di desa oleh pemerintah kolonial hanya diberi sedikit kewenangan terhadap masyarakat lokal, tetapi justru diharap dapat membantu kepentingan kolonial yang sangat luas. Pemerintah kolonial juga membuat tenaga kerja komunal (rumusa) demi kepentingan pembangunan dan khususnya untuk membangun infrastruktur yang ada dan dibutuhan oleh masyarakat dan kepentingan kolonial.
Sebagimana Peter Mould (1966) mengatakan bahwa, jalan-jalan, dan proyek lainnya juga dibangun atas keterlibatan tenaga kerja komunal lokal yang dikendalikan oleh ketua dan tokoh lokal setempat. Keuntungan dalam rangka menggunakan tenaga kerja komunal lokal adalah terpenuhinya tenaga kerja untuk keperluan pembangunan. Hal senada juga dilakukan oleh para misionaris yang menggunakan tenaga kerja komunal lokal desa untuk membantu membangun sarana seperti sekolahan, gereja, dan klinik kesehatan.
Sebagaimana dialami pemerintah kolonial Inggris di Afrika Barat pada tahun 1940-an merupakan pengalaman yang pertama. Sebelum pembangunan komunitas dirumuskan konsepnya di Afrika Barat, pemerintah kolonial di India juga mengusulkan program serupa. Seperti yang dikemukakan oleh F.L Brayne mengusulkan pembangunan komunitas juga. Di India ada dua tokoh utama yakni Rabindranath Tagore dan Mahatma Gandhi, yang keduanya ingin mewujudkan masyarakat impian yang dilandasi oleh kehidupan dan nilai-nilai bangsa India yang mereka sebut sebagai usaha utama untuk mengorganisir masyaraka sebagai suatu keseluruhan. Hal itu bukan sebagai kejutan, setelah kemerdekaan India, idea tersebut mempunyai hubungan yang signifikant terhadap program pembangunan masyarakat India.
Di tahun 1940-an, pemerintah kolonial Inggris di London secara aktif memperkenalkan pembangunan komunitas ke seluruh wilayah jajahannya. Pemerintah kolonial Perancis juga mengadopsi pembangunan komunitas dalam bentuk animasi masyarakat dan hal itu diterapkan di Amerika sebagai wilayah jajahannya. Contohnya, Amerika Serikat pada tahun 1960-an secara aktif menyebarluaskan konsep pembangunan komunitas di Amerika Latin, sebagai bagian dari bantuan program yang diperkenalkan di bawah aliansi untuk kemajuan.
Walaupun program pembangunan komunitas berbeda-beda di berbagai belahan dunia, namun ciri utamanya sama. David Brahensha dan Peter Hodge (1969) mencatat bahwa pembangunan komunitas dilaksanakan dengan jalan berbeda pula. Contohnya, ada perbedaan besar di dalam struktur administrasi dari pembangunan komunita yang berbeda-beda di seluruh dunia. Beberapa negara pembangunan komunitas berkait erat dengan pemerintah lokal. Pendekatan ini menekankan organisasi politik lokal dan usaha bersama yang dikendalikan oleh pemimpin lokal, yang fungsinya membantu pemerintah pusat. Di negara lainnya, pembangunan komunitas berhubungan langsung dengan perluasan pertanian. Di sini tenaga pembangunan komunitas merupakan pegawai dari departemen pertanian. Di wilayah lain juga muncul model yang berbeda dari kesejahteraan sosial, terutama di Afrika Barat yang mengadopsi pengembangan komunitas dengan menekankan adanya penciptaan ekonomi pada level pedesaan dan proyek-proyek sosial.
Kebanyakan kasus, pembangunan komunitas diadopsi dari pendekatan modernisasi, yang berusaha mendorong adanya tempat yang menjadi sentra-sentra komunitas, seperti sekolah, jalan, klinik, dan proyek sanitasi air bersih. Namun, di kasus yang lain, lebih ditekankan pada suatu hal yang bersifat non material dan aspek idea. Kesemuanya itu termasuk dalam usaha memperkuat identitas komunitas, juga memperkuat partisipasi demokrasi dan mendorong kemampuan diri sendiri serta lingkungannya. Idea yang demikian merupakan ciri penting di dalam teori pembangunan komunitas, dan seringkali ditekankan pada upaya mendorong individu dalam pembangunan komunitas, seperti para pekerja sosial di Amerika yang melihat stress sebagai suatu aspek ideal.
Program pembangan komunitas juga dipengaruhi kondisi geografis. Ronald Dore dan Zoe Mers (1981) mengatakan bahwa banyak negara mengorganisir pengembangan komunitas sebagai program dasar nasional yang dilaksanakan dan dikendalikan oleh pemerintah pusat dan propinsi. Pengembangan komunitas lainnya melekat pada kegiatan ideologi dan politik yang dikendalikan oleh partai politik. Contohnya, sistem komunis di Cina dan juga program Ujamma di Tanzania. Sedangkan yang lainnya dalam lingkup lokal dan difokuskan pada komunitas tertentu. Hal ini juga dianggap benar bahwa porgram pengembangan komunitas dilaksanakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat lokal itu sendiri. Di antaranya adalah proyek Commilla di Bangledesh yang mendapat perhatian internasional. Tambahan lagi, ketika kebanyakan program pengembangan komunitas dilaksanakan di wilayah pedesaan, dan juga di perkotaan, khususnya di wilayah kumuh dan padat.
Program pengembangan komunitas yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun LSM mempunyai ciri-ciri operasional yang sama. Pada umumnya tergantung kepada kemampuan tenaga kerja profesional dalam memobilisir partisipasi masyarakat lokal, serta mengorganisisr kegiatan dengan mengaitkan sumberdaya eksternal dari komunitas tersebut. Para pekerjanya merupakan pegawai dari badan-badan pengembangan komunitas. Namun, program pengembangan komunitas juga menggunakan tenaga kerja lokal yang telah mendapatkan pelatihan untuk tugas tertentu. Kebanyakan program kegiatan sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat lokal secara luas. Pengembangan komunitas juga bisa dirumuskan sebagai suatu kerjasama antara badan-badan di luar komunitas itu dengan komunitas lokal.
Pada umumnya masyarakat lokal memberikan sumbangan sebagai tenaga kerja dan sumberdaya lokal lainnya yang tenaga eksternal dan tenaga ahli disediakan oleh biro atau agen pengembangan komunitas. Sekarang sudah sangat banyak bahan bacaan tentang pengembangan komunitas yang tidak hanya menjelaskan teknik-teknik yang digunakan oleh tenaga ahli pengembangan komunitas, tetapi juga prinsip dan teori dalam rangka pelaksanaan pengembangan komunitas. Sebagaimana diuraikan di dalam bab sebelumnya, dua prinsip dasar pengembangan komunitas adalah self-help dan self-determination, keduanya merupakan ciri utama dari teori pengembangan komunitas. Walaupun, pengembangan komunitas tidak selalu segera dapat diwujudkan, tetapi paling tidak telah merupakan upaya efektif guna meningkatkan pembangunan sosial, dan khususnya dalam konteks pembangunan ekonomi. Proyek pengembangan komunitas lokal secara signifikan telah mampu memberi sumbangan terwujudnya inprastruktur fisik secara luas. Banyak masyarakat desa yang telah bisa membangun jaringan jalan guna memperlancar komunikasi, tetapi juga mampu meningkatkan akses pasar dan mengirim barang serta teknologi. Seperti halnya di atas, program pembangunan irigasi, pembersihan lahan, pemeliharaan dan pemupukan tanaman telah mampu mendorong pengembangan ekonomi masyarakat lokal.
Program pengembangan komunitas juga mampu memperkuat kegiatan produktif. Banyak warga masyarakat dengan sadar secara bersama-sama membantu meningkatkan produktivitas hasil pertaniannya, menyimpan, membuka pasar, dan menjual hasil produksi barangnya. Peran kerjasama dalam pengembangan komunitas lokal telah berkembang sangat luas. Tambahan lagi, pengembangan komunitas telah membantu pembangunan ekonomi dengan menciptakan infrastruktur sosial dan program sosial lainnya guna mempertinggi keadaan modal sosial dan manusia. Program pengembangan komunitas, telah menyebar ke seluruh dunia dengan membangun sekolah, klinik kesehatan, air bersih dan proyek sanitasi yang bisa meningkatkan produktivitas komunitas lokal maupun merubah kondisi modal sosial.
Walaupun munculnya pengembngan komunitas di dalam konteks pembangunan dunia ketiga, namun konsep tersebut masih sangat relevan di dalan negara industri maju. Tentu saja, pekerja sosial di negara maju telah lama menggunakan pendekatan komunitas sebagai bentuk advokasi dan intervensinya. Di banyak negara program dengan melandaskan komunitas telah banyak diperkenalkan. Contohnya, program perang melawan kemiskinan di tahun 1960-an di Amerika digunakan secara luas sebagai pendekatan berdasar komunitas yang berusaha untuk mengurangi jumlah kemiskinan. Namun, James Midgley dan Peter Simbi (1993) menjelaskan bahwa pengembangan komunitas di negara industri jarang memperlihatkan pembangunan ekonomi. Mereka menyarankan bahwa negara industri dapat belajar dari pengalaman dunia ketiga dan mengadopsinya ke dalam pembangunan ekonomi mereka.



3.2 Kegiatan Komunitas, Partisipasi dan Pembangunan
Walaupun tidak mendapat perhatian para ahli, namun telah menyebar luas kekecewaan tentang pembangunan komunitas selama tahun 1970-an. Banyak krisis akibat dari birokrasi pembangunan sosial menjadi sangat panjang dan tidak efisien, terjadi banyak korupsi di mana-mana. Di akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, sewaktu krisis moneter yang juga dahsyat waktu itu banyak program pembangunan komunitas yang tidak bisa berjalan dan bahkan mengalami kerugian. Hanya sedikit yang dapat dilakukan adalah menyediakan sumberdaya bagi proyek-proyek pembangunan komunitas tertentu dan hanya dapat memberikan upah para pekerjanya. Akibatnya banyak negara yang menjadi tidak yakin atas program pembangunan komunitas yang dicanangkan oleh pemerintah sehingga kemampuan pembangunan komunitas untuk meningkatkan pembangunan sosial terganggu. Kritik yang lain terhadap program pembangunan komunitas selama tahun 1970-an yakni, pemerintah ternyata menggunakan pembangunan komunitas untuk mengendalikan kepentingan politik atas kepentingan masyarakat. David Brohensha dan Peter Hodge ( 1969) mengemukakan bahwa program pembangunan komunitas dilaksanakan oleh pemerintah komunis dengan jalan kekerasan. Pembangunan sosial ternyata juga bermaksud untuk menguras sumberdaya yang ada di wilayah perdesaan. Sebagaimana yang terjadi di Mexico bahwa program pembangunan komunitas justru menimbulkan keterbelakangan dan kemiskinan di tengah masyarakat.
Penulis lainnya tidak menuduh adanya motif konspirasi pemerintah, tetapi menuduh pembangunan komunitas menjadi alat untuk mengusahakan kepentingan politik pemerintah pusat atas program pembangunan masyarkat lokal. Walaupun pembangunan komunitas didasarkan atas kenyakinan bahwa masyarakat itu sendiri dapat menentukan bentuk pembangunannya, mereka juga menuntut pembangunan masyarakat jangan hanya dianggap sebagai kebijakan untuk menyelenggarakan kepentingan pusat atas kepentingan pemerintah daerah. Melihat lagi konsep pembangunan komunitas dengan animasi di Afrika Barat ternyata hal itu sangat bertentangan dengan kepentingan pemerintah lokal.
Pendekatan partisipasi komunitas radikal menjadi sangat dikenal di dalam kajian pembangunan sosial di tahun 1970-an dan tahun 1980-an yang mempunyai akar sejarah yang panjang. Pada masa itu banyak kegiatan masyarakat muncul karena terinspirasi dari teori Marxist dan tradisi revolusi Mao. Berdasarkan atas teori kapitalisme pada masa itu diyakini dapat memunculkan masalah kemiskinan dan ketimpangan di dunia ketiga. Penganut teori Marxist dan Mao menyatakan bahwa kegiatan komunitas dengan memobilisasi berbagai hal dengan jumlah sangat besar akan menghasilkan pemodal besar dan menciptakan lembaga-lembaga yang bisa terkenal dan besar yang bisa menjamin kehidupan seluruh masyarakat.
Ketika kegiatan komunitas terinpirasi oleh idea yang revolusioner, pendekatan kegiatan komunitas sesungguhnya lebih membela orang miskin daripada model sosialisme. Banyak buku literatur yang menjelaskan bahwa idea tersebut merupakan refleksi dari pekerja sosial komunitas Amerika, yaitu Saul Alinsky (1971) yang merupakan tokoh sukses di dalam menyebarluaskan kegiatan komunitas di Chicago dan dari tulisannya telah disebarluaskan. Banyak penganjur dari kegiatan komunitas juga terinspirasi dari hasil kerja penulis Brasil Paulo Freire (1972) yang mengemukakan teorinya tentang Conscientization yang merupakan rencana praktis bagi orang miskin untuk mencapai kedudukan di dalam pilitik dan berguna untuk mengorganisir mereka di dalam mengendalikan masalah mereka sendiri. Memegang idea ini, banyak penganjur pendekatan komunitas dapat mentransformasi pengembangan komunitas kepada pendekatan yang lebih politis dan aktif.
Namun, partisipasi komunitas sesungguhnya hampir mirip dengan pendekatan pengembangan komunitas di masa kolonial. Serupa dengan itu pengembangan komunitas, partisipasi komunitas sesungguhnya tergantung kepada pekerja sosial yang terlatih, yang bertanggung jawab kepada upaya memberi motivasi masyarakat lokal untuk berpartisipasi di dalam proyek dan mengajari mereka taktik untuk menyusun dan melaksanakan program kegiatan komunitas. Tidak sama dengan tenaga pengembang komunitas, pekerja sosial komunitas sangat aktif dan mereka sesungguhnya merupakan bagian penting dari masyarakat karena mempunyai tujuan tertentu, melakukan kritik dan melakukan penyebarluasan program untuk mencapai tujuan komunitas.
Tidak sama dengan pengembangan komunitas, pendekatan tindakan komunitas berupaya untuk menangani orang miskin dan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak berdaya. Ketika pekerja sosial pengembangan komunitas mencari langkah yang tepat, mereka menemui tokoh masyarakat lokal dan melakukan pemberdayaan kepada mereka. Namun, para pembela pendekatan ini, tindakan komunitas, membela bahwa kegiatan yang dilakukan beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa orang miskin menjadi lebih apatis, tidak menunjukkan partisipasinya di dalam kegiatan komunitas.
Conscientization menghasilkan hasrat yang tinggi untuk melihat suatu keadaan yang tidak seimbang dan menindas itu sesungguhnya bermula dari keadaan kemiskinan dan perampasan hak mereka dalam masa kolonial. Dengan keadaan itu mendorong munculnya lembaga-lembaga yang ada di masyarakat lokal serta organisasi kemasyarakatan lainnya untuk mengubah kondisi yang ada menjadi lebih baik. Pengerahan massa, diskusi kelompok terfokus, dan kegiatan serupa yang lain di dalam kehidupan masyarakat lokal dapat memperkuat partisipasi masyarakat, yang demikian ini dapat memperkuat proses pengembangan komunitas.
Walaupun partisipasi komunitas selalu berusaha untuk memperkuat kepeminpinan lokal di komunitas itu, namun pemimpin memegang peranan penting dalam hal tanggung jawab dan mereka masih memerlukan dukungan dan pertimbangan dari komunitas yang dipimpinnya. Organisasi dan lembaga lokal muncul sesungguhnya berfungsi untuk membantu dalam memperkokoh hubungan yang terjadi antara lembaga-lembaga itu dengan partisipasi masyarakat serta hubungannya dengan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya. Proses pengembangan organisasi lokal akan dapat lebih efektif jikalau difasilitasi oleh proyek-proyek khusus pemerintah yang sukses, yang pada gilirannya memberikan kegiatan yang lebih banyak di masa yang akan datang.
Walaupun kegiatan masyaraka atau komunitas sesungguhnya merupakan kegiatan yang bersifat semu dan seringkali disebut dengan anti kemapanan, hal itu sesungguhnya merupakan keberhasilan dari lembaga internasional dan banyak pemerintah di negara dunia ketiga memberikan bantuannya juga. Sebagaimana diuraikan di dalam bab sebelumnya, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) merupakan lembaga internasional yang memberikan dukungan secara aktif dalam rangka mendorong munculnya partisipasi masyarakat di dalam komunitas dengan menggabungkan ke dalam perencanaan sosial, yang banyak mendapatkan kritik di tahun 1970-an. UNICEF, merupakan lembaga yang pertama kali memberikan bantuan terhadap masalah kesehatan ibu dan anak di berbagai negara berkembang, dengan model partisipasi masyarakat. Hal demikian menjadi kunci dari berbagai program yang dilaksanakan di banyak negara. Keberhasilan program tersebut telah ditunjukkan adanya suatu sistem pendekatan kegiatan komunitas, terutama dalam membantu dan mengorganisir berbagai kegiatan yang melibatkan kaum perempuan dalam upaya mewujudkan kesehatan ibu dan anak di seluruh dunia (UNICEF, 1982).
Para penganjur pendekatan yang menggunakan kegiatan komunitas mengharapkan bahwa komunitas lokal dapat bekerja lebih efektif dalam mengorganisir kegiatan dan mengidentifikasi kebutuhan yang ada di masyarakat tersebut, yang program kegiatannya dapat memperkuat kondisi ekonomi mereka dan kesejahteraannya. Ketika kegiatan komunitas seringkali tumpang tindih antara proyek kegiatan di bidang ekonomi dan kegiatan di bidang sosial seperti yang terjadi di berbagai tempat, maka para penganjur masih mempunyai keyakinan bahwa kegiatan komunitas yang dapat berjalan efktif akan dapat mencapai tujuan pembangunan sosial. Oleh karena itu, ketika pembangunan sosial dituntut keberhasilannya seperti diuraikan di atas, maka diperlukan bantuan dari pemerintah mengenai sumberdaya yang diperlukan di dalam kegiatan komunitas tersebut. Kepemilikan bersama atas aset yang ada di komunitas tersebut akan sangat membantu keberhasilan pembangunan sosial, karena setiap kegiatan akan mendorong terjadinya perubahan sosial. Keyakinan keberhasilan dari kegiatan komunitas ini juga disampaikan oleh Midgley dan Sahabatnya (1986) bahwa keberhasilan dengan menggunakan kegiatan komunitas tidak hanya sebuah retorika dan ideolog belaka, tetapi di dalam masyarakat terjadi adanya komitmen yang tinggi dengan disertai analisis yang hati-hati tentang keefekifan semua kegiatan yang ada di masyarakat dengan segala perangkat sistem sosialnya.

3.3 Perempuan, Gender, dan Pembangunan Sosial
Para ahli ilmu sosial telah lama tertarik mempelajari peran-peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan konsep gender telah digunakan secara luas di dalam kasanah ilmu pengetahuan sosial untuk menunjukkan peran-peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki secara kultural. Gender sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan ciri-ciri seksual, tetapi gender lebih didasarkan pada perbedaan ciri sosial budaya. Sebagaimana antropolog dan juga sosiolog telah banyak mengemukakan bahwa peran yang bervariasi bagi perempuan dan laki-laki di berbagai masyarakat (Mead, 1992). Perbedaan peran itu menjadi bukti adanya tanda-tanda tertentu dengan melihat bentuk pekerjaan perempuan dan laki-laki pada masyarakat tertentu.
Meskipun banyak jenisnya peran yang dimainkan oleh perempuan dan laki-laki, tetapi peran dari segi gender ternyata memang mengandung berbagai perbedaan. Beberapa perkecualian, yang para ilmuwan menganalisis tentang pembagian kerja yang didasarkan atas gender memang berbeda dan sulit untuk disamakan. Di banyak masyarakat, pembagian kerja dihubungkan dengan keadaan rumah tangga. Sebagimana Barbara Roger (1980) kemukakan bahwa dominasi ideologi terhadap laki-laki di banyak masyarakat mengakibatkan perempuan memegang peran gender sebagai ibu dari anak-anaknya, ibu rumah tangga, dan pengasuh. Peranan demikian tidak hanya membosankan, berulang-ulang dan jauh dari kepuasan kerja, tetapi Roger menjelaskan bahwa peranan laki-laki di berbagai masyarakat lebih tinggi daripada perempuan. Walaupun pekerjaan kerumahtanggan (domestik) sesungguhnya disertai dengan diskriminasi di dalam keluarga, tetapi hal demikian terus terjadi sampai sekarang di masyarakat. Kesempatan memperoleh pendidikan bagi perempuan selalu tertinggal, oleh karena itu, perempuan selalu terpinggirkan, mereka harus mengasuh anak dan harus menyediakan berbagai keperluan bagi seluruh anggota rumahtangganya. Serupa dengan di atas, kesempatan untuk memperoleh pekerjaan di luar rumah (publik) juga sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena kebanyakan perempuan memang tidak ingin mencari pekerjaan di pasar kerja. Beberapa wanita yang mendapatkan kesempatan kerja di sektor publik seringkali juga mengalami perlakukan yang tidak adil, lebih rendah pendapatannya, seringkali dalam situasi tereksploitasi. Secara budaya juga hampir sama, perempuan selalu dibatasi ruang geraknya, banyak kuwajibannya, dan sedikit hak-haknya. Di banyak masyarakat masyarakat sekarang ini, perempuan terkekang kebebasannya, terdiskriminasi, dan tertindas.
Dalam pandangan lembaga, perempuan memang terdeskriminasi, hal demikian memang tidak mengherankan karena perempuan telah lama disia-siakan dalam proses pembangunan. Sebagaimana Roger tunjukkan bahwa wanita amat jarang dapat bekerja di lembaga-lembaga pemerintah atau organisasi internasional yang menangani masalah pembangunan. Kebijakan pembangunan, dan perencanaan proyek pembangunan pada umumnya dikonstruksi oleh kaum laki-laki dan berupaya untuk memenuhi kepentingan laki-laki, amat sedikit perempuan dihargai keberadaannya, kebutuhannya, dan pemikirannya. Di dalam struktur patriakal yang ada di berbagai kebudayaan pembangunan selalu didukunga oleh berbagai strategi. Kelalaian memunculkan kepentingan perempuan, menyia-nyiakannya semakin membuat lebih buruk kondisi dan standart hidup perempuan. Julia Cleves Mosse (1993) melaporkan bahwa pengaruh resisi ekonomi global dapat mempengaruhi kebijakan yang harus diambil oleh suatu pemerintah dan secara struktural dapat menimbulkan pengaruh terhadap pendapatan perempuan miskin dan seluruh keluarganya. Sebagaimana telah diuarikan di bab sebelumnya, dengan mengsampingkan posisi dan peran perempuan, di banyak masyarakat dan komunitas sekarang ini, dianggap sebagai bentuk dari destorsi pembangunan atau Vandana Shiva (1989) katakan sebagai kegagalan dan kesalahan pembangunan.
Upaya untuk menempatkan posisi perempuan dalam konteks pembangunan merupakan momentum yang baik di akhir abad lalu dan awal abad sekarang. Salah satu orang yang membahas issu perempuan adalah Ester Boserup (1970) merupakan tokoh yang selalu memperhatikan kondisi yang paradoks mengenai perempuan, khususnya perempuan di pedesaan, yang mereka menyumbang sangat besar proses pembangunan. Ketika perempuan tersebut hanya sedikit menerima keuntungan dari usaha pembangunan. Dibandingan dengan keyakinan mengenai perempuan yang merupakan tenaga kerja aktif di bidang pertanian dan selalu berhubungan dengan pekerjaan pertanian. Namun, dalam kenyataannya perempuan selalu dilupakan oleh ahli-ahli pembangunan, yang mereka hanya merumuskan model pembangunan ekonomi dan berfokus pada tenaga kerja laki-laki dan proyek pembangunan itu memang dikonstruksi untuk menguntungkan laki-laki.
Kritik Bosserup telah menimbulkan pengaruh luar biasa besar dalam menjelaskan perhatian untuk selalu memperhatikan peran perempuan di dalam pembangunan. Tulisan Bosserup telah memberikan sumbangan langsung terhadap keputusan yang menyatakan bahwa tahun 1975 sebagai tahun perempuan dan pada tahun 1975 – 1980-an dianggap sebagai dekade atau tahun bangkitnya perempuan di seluruh dunia. Meskipun selama masa itu, belum mampu menumbuhkan kesadaran bagi semua orang tentang pentingnya perempuan dalam pembangunan, paling tidak telah membawa angin segar yang mensejajarkan posisi perempuan dan laki-laki.
Caroline Moser ( 1989) telah membahas ulang berbagai pendekatan mengenai peran perempuan dalam pembangunan di beberapa tahun belakangan, yang telah menempatkan masalah gender di dalam pembangunan yang dirumuskan.
Pertama, disebut dengan pendekatan kesejahteraan sosial. Di dalam pendekatan ini perempuan dipandang sebagai penerima pembangunan secara pasif yang pembangunan itu dikonstruksi untuk memenuhi kebutuah perempuan sebagai ibu dari anak-anaknya dan ibu rumah tangga. Di banyak negara berkembang, menteri yang menangani bidang kesejahteraan sosial telah menempatkan program pembangunan untuk perempuan, khususnya berbagai kegiatan untuk meningkatkan kegiatan di dalam rumah tangga serta menyediakan layanan kesejahteraan sosial bagi ibu hamil, melahirkan, ibu menyusui bayinya dan berbagai keperluan yang dibutuhkan.
Kedua, disebut dengan pendekatan pemerataan. Dalam pendekatan ini pembangunan berupaya untuk memperkuat status dan peran perempuan serta berupaya mensejajarkan posisi perempuan dengan laki-laki sampai hak-haknya mendapatkan kerja, sama penghasilannya, dan sama besar kesempatan di dalam mendapatkan pekerjaan. Namun, pendekatan kesetaraan ini kurang berhasil di banyak negara berkembang, karena negara-negara tersebut ada faham bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan konsep kultural dari negara maju.
Ketiga, pendepatan ini disebut dengan anti kemiskinan. Di dalam pendekatan ini disebut demikian karena pendekatan ini berupaya untuk mendorong agar supaya perempuan lebih produktif secara mandiri, khususnya perempuan yang berasal dari kelompok berpenghasilan rendah. Pendekatan ini dimaksudkan agar perempuan yang mempunyai kedudukan rendah konsekuensinya mempunyai penghasilan sangat rendah pula dan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan memberikan proyek yang berupaya untuk meningkatkan penghasilan usaha kecil di antara perempuan miskin tersebut, perempuan akan dapat memperkua posisinya di dalam pembangunan ekonomi.
Keempat, disebut dengan pendekatan efisiensi. Disebut demikian karena pendekatan ini berupaya untuk memperkuat hal-hal yang berkaitan dengan perempuan di dalam pembangunan mulai dari proses dasar. Perempuan sesungguhnya merupakan sumberdaya yang produktif guna meningkatkan pembangunan ekonomi.
Kelima, disebut dengan pendekatan pemberdayaan. Pendekatan ini berupaya memberdayakan perempuan itu sendiri. Pendekatan ini merupakan suatu tanda bahwa perempuan selalu direndahkan posisinya di dalam pembangunan yang fahamnya patriakal, tetapi juga imperalisasi dan kolonialisasi bagi perempuan. Isi pendekatan ini adalah berupaya agar supaya posisi perempuan dapat meningkat ketika perempuan tersebut menjadi bagian sangat penting dan selalu diri serta penuh ketrampilan dalam mengendalikan keputusannya sendiri, yang hal ini dapat mempengaruhi kehidupannya. Untuk dapat mewujudkan tujuan-tujuan di atas, perempuan harus memobilisasi diri mulai dari strategi dasar sampai puncak untuk mempromosikan dan mengorganisir yang ada pada perempuan. Untuk memberdayakan secara penuh berbagai organisasi perempuan harus melakukan perlawanan yang menjadi penghalang dari keberdayaan mereka.
Demi mewujudkan pendekatan terakhir diperlukan beberapa seruan kepada berbagai kelompok dan organisasi perempuan agar terus berupaya untuk meningkatkan posisi wanita di dalam kehidupan bersama laki-laki. Satu kelompok atau organisasi wanita yang telah menarik perhatian lembaga internasional dengan melakukan pemberdayaan adalah DAWN (Development Alternatif with Women for New Era). Lembaga ini telah ditetapkan melalui konferensi Internasional perempuan dunia yang diselenggarakan di Nairobi pada tahun 1985. sebagaimana yang dilaporkan Moser, DAWN telah diadopsi ke dalam berbagai program pembangunan baik jangka panjang maupun jangka pendek. Strategi jangka panjangnya adalah melakukan perubahan norma, hukum dan peraturan lainnya yang berdampak negatif kepada perempuan, merubah perlakuan diskriminasi kepemilikan harta benda, merubah lembaga-lembaga yang ada berdasarkan kebudayaan untuk dapat mengurangi dominasi laki-laki di dalam kehidupan masyarakat. Dalam strategi jangka pendek organisasi tersebut berupaya untuk meningkatkan peran perempuan dalam kegiatan ekonomi produktif melalui kegiatan mandiri maupun bersama-sama, memberikan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan luas, meningkatkan kapasitas atau kemampuan perempuan yang selama ini banyak menggantungkan hidupnya kepada laki-laki terutama dari sektor pertanian dan sangat sedikit dari sektor yang lain.
Pendekatan pemberdayaan sebagaimana disarankan oleh DAWN telah diadopsi ke dalam berbagai organisasi perempuan lokal dan organisasi internasional ke seluruh dunia. Sebagaimana diungkapkan oleh Moser, kelompok-kelompok perempuan menggunakan berbagai strategi untuk mencapai suatu tujuan, namun kegiatan yang merupakan organisasi yang mengusung kegiatan sosial lebih dikenal. Moser melaporkan bahwa Gabriella, membentuk perserikatan perempuan di Fhilipina yang sukses dalam memberikan pemberdayaan kepada perempuan sehingga mencuri perhatian seluruh masyarakat karena mampu meningkatkan hak azasi perempuan di negara tersebut. Di Bombay, kelompok-kelompok perempuan dapat mengorganisir diri secara efektif sehingga mampu meningkatkan dan memperbaiki kondisi rumah tangga, mengubah hukum adat dan mengubah keyakinan pemerintah melawan pemerkosaan dan melakukan pembakaran jembatan. Sedangkan di Ahmadabad, kelompok perempuan yang berpenghasilan rendah yang bekerja secara mandiri telah berhasil mengorganisir diri dalam menghadapi gangguan dan eksploitasi yang dilakukan oleh makelar atau tengkulak, dan mereka mampu mendirikan bank, koperasi, melakukan peningkatan ketrampilan, dan mendirikan penjamin (asuransi) sosial secara informal. Sebagaimana disampaikan oleh Arline Prigoff (1992) yang menyatakan bahwa kelompok perempuan di banyak negara mengalami keberhasilan dalam meningkatkan kesejahteraannya di dalam konteks pendekatan gender pembangunan sosial.
Tidak bisa dihitung jumlahnya organisasi perempuan di seluruh dunia yang telah melakukan kegiatan secara efektif bersama dengan pendekatan komunitas di dalam rangka pembangunan sosial. Banyak organisasi perempuan telah mengadopsi dua pendekatan yaitu pembangunan masyarakat dan teknikmelakukan pemberdayaan komunitas untuk meningkatkan apa yang diinginkan dan dengan kegiatan demikian kelompok perempuan tersebut dapat memperkuat solidaritas di antara perempuan. Namun, ketika perhatian perempuan di dalam memberdayakan dirinya ternyata berasal dari masyarakat yang ide itu bermula dari status gender secara umum, sehingga tujuannya menjadi meluas. Sebagimana yang dilakukan oleh DAWN, organisasi ini berupaya untuk menciptakan suatu dunia antara perempuan dan laki-laki yang tidak didasari atas perbedaan kelas, gender, dan ras, yang kesemuanya diharapkan hilang di semua negara dan hubungan antar negara. Khususnya perempuan mungkin menggunakan pendekatan yang didasarkan atas gender dalam pendekatan pembangunan sosial yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sungguh-sungguh secara total adanya kesamaan disegala hal antara perempuan dan laki-laki.


















IV. Pembangunan Sosial oleh Pemerintah
Keyakinan yang besar bahwa pembangunan sosial dapat berhasil jika dilaksanakan oleh pemerintah. Hal didasarkan atas kenyataan bahwa pemerintah mempunyai badan atau tertentu untuk membantu pemerintah mengambil kebijakan, perencanaan, pengadministrasian yang diperlukan dalam proses pembangunan sosial. Pembangunan sosial oleh pemerintah ini seringkali disebut dengan pendekatan pembangunan sosial secara statis. Penjabarannya adalah bahwa pembangunan sosial itu merupakan kumpulan ideologi kolektivitas. Dalam ideologi ini disarankan bahwa adanya suatu keyakinan yang besar terhadap strategi pembangunan statis ini dapat berhasil jika lembaga pemerintah peduli terhadap kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Lembaga-lembaga itu bertanggung jawab penuh di dalam meningkatkan kesejahteraan semua warga negaranya. Pendekatan ini yakin bahwa pemerintah sesungguhnya merupakan keseluruhan kelompok-kelompok masyarakat, dan lembaga itu mempunyai kepedulian untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Namun, pendekatan statik ini harus juga mengakui bahwa pemerintah sesungguhnya tidak mampu bertindak secara total dengan menggunakan berbagai cara dan usaha ,karena di dalam kenyataannya pemerintah tidak hanya berkepentingan dengan kaum perempuan saja melainkan juga terhadap seluruh warga masyarakatnya. Mereka tidak hanya menyadari bahwa langkah yang dilakukan oleh pemerintah sesungguhnya mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk digunakan mulai pada masa lalu sampai sekarang, tetapi juga langkah yang diambil oleh pemerintah pada umumnya bersifat masal bagi semua masyarakat. Walaupun mereka yakin bahwa banyak pemerintah di seluruh dunia ini peduli terhadap peningkatan kesejahteraan sosial warga negaranya dan pemerintah mampu memobilisasi sumberdaya yang dimilikinya untuk mencapai tujuan di atas. Selain itu pemerintah juga mempunyai wewenang untuk menjamin bahwa kebijakan pembangunan sosial yang diambil dapat dilaksanakan dengan baik dan terjadi keharminisan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial.
Pendekatan statis juga memainkan peranan penting sebagai pengkritik pembangunan di masa lalu. Idea tentang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial akan dapat terdorong oleh perencanaan pembangunan pemerintah yang dapat dilaksanakan di banyak negara. Hal tersebut sebagai wujud dari pelaksanaan demokrasi liberal di negara-negara barat, di negara-negara komunis, dan negara berkembang. Selama abad lalu, keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan sosial telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Walaupun mendapatkan kritik tajam selama tahun 1980-an oleh pembela hak-hak asasi manusia radikal, idea bahwa pemerintah dapat berupaya meningkatkan perubahan sosial secara positif tidak diragukan lagi. Meskipun ada ideologi oposisi dan pemotongan anggaran, banyak negara berkembang sekarang ini melanjutkan penerapan pembangunan ekonomi dan sosial secara harmonis.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai peranan pemerintah di dalam mengembangkan pembangunan sosial. Hal tersebut dimulai dari mencoba memadukan pembangunan ekonomi dan sosial dengan menggunakan pendekatan yang disebut pendekatan sosio-ekonomi pembangunan yang telah dilaksanakan di negara berkembang pada tahun 1970-an. Selanjutnya diadakan kajian-kajian yang mendalam mengenai strategi-strategi yang menekankan ada pendistribusian sumberdaya sebagai kebutuhan dasar dari pelaksanaan pembangunan sosial. Dengan mengikuti pendekatan ini kebutuhan dasar diutamakan dan pemerintah harus bertanggung jawab di dalam menyediakannya dan menjamin bahwa semua warga negara terpenuhi kebutuhan sosialnya. Akhirnya pendekatan pembangunan yang berkelanjutan yang sering disebut dengan sustainable development, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kebijakan pembangunan dengan melindungi kepentingan lingkungan hidup serta melindungi dan menjamin masa depan generasi yang akan datang.

4.1 Pengembangan Pembangunan Sosial melalui Perencanaan Terpadu
Munculnya perencanaan di dalam sumbangannya pada pembangunan sosial telah dibahas di awal bab sebelumnya. Perencanaan merupakan wujud dari ide suatu pengembangan dan dapat memberikan motivasi di dalam pembangunan sosial. Atas dasar ide yang sesungguhnya bersifat suatu khayalan atau angan-angan telah dituangkan di dalam perencanaan, dan merupakan upaya perubahan dari teori sosiologi. Perencanaan berisi tentang proses perubahan sosial dan ekonomi yang terus menerus berlangsung dan merupakan intervensi rasional sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan telah banyak digunakan setelah perang dunia kedua dan pada waktu itu banyak negara berkembang mengalami kemerdekaannya yang berupaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan cepat. Untuk mewujudkan hal itu dilakukan melalui proses modernisasi secara aktif yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga internasional seperti PBB. Banyak para penganjur teori modernisasi mengatakan bahwa sumberdaya yang tersedia harus dialokasikan guna mendukung investasi di bidang industri dan perusahaan-perusahaan modern lainnya, mendorong peningkatan komsumsi, belanja sosial harus dibatasi, dan penciptaan perluasan ekonomi mendapatakan prioritas utama.
Di dalam perencanaan pembangunan sosial seperti yang disarankan oleh PBB di tahun 1950-an akan dibahas berikut ini. Ketika PBB menerima konsep pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sesungguhnya hampir sama dengan apa yang disampaikan oleh James Midgley (1984) yang disebut sebagai pendekatan residual bagi kesejahteraan sosial yang pemerintah bertanggung jawab menyediakan berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat secara minimal, sehingga masyarakat bisa menciptakan lapangan kerja. Pendekatan demikian tidak hanya meminimalisir tanggung jawab pemerintah dalam upaya pembangunan sosial, tetapi juga penggolongan kebijakan sosial ke dalam pembangunan ekonomi.
Para ahli pendekatan residual tidak hanya mengadopsi, namun pemerintah di banyak negara berkembang juga berhasrat untuk memperluas penanganan sosial dengan keyakinan bahwa program-program sosial merupakan bagian integral dari proses menjadi masyarakat modern. Banyak negara yang mengalokasikan sumberdayanya guna meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan. Jaminan sosial, perumahan dan penanganan sosial oleh pekerja sosial juga diperkenalkan, meskipun dalam skala yang masih kecil. Ahli pendekatan residualis juga melakukan kritik terhadap kegagalan pembangunan yang tidak mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat. Di masa kolonial, pejabat bidang kesejahteraan sosial juga melihat guna mengidentifikasi intervensi sosial yang dapat membantu tujuan pembangunan ekonomi. Penekanan faham residual yang berbeda adalah ide dan pandangannya tentang kesejahteraan sosial sebagai saluran daripada mengembangkan sumberdaya. Di tahun 1960-an, kritik yang kuat terhadap pendekatan residual datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mengakui sebagai suatu pendekatan yang murni.
Pembahasan kembali secara resmi dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai pembangunan telah dibahas di awal bab sebelumnya, sebagaimana Gunnar Myrdal, Hans Singer, dan Benjamin Higgins, yang menyarankan bahwa PBB harus menerima suatu pendekatan baru yang berasal dari penekanan yang sempit yakni hanya pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perencanaan sosial. Pendekatan ini sangat dikenal dengan ”Perencanaan Sosio-Ekonomi Pembangunan Terpadu”. Sebagaimana ditujukan sebelumnya yang menjadi titik perhatian di dalam sub bab ini adalah, PBB (1971) menerima sejumlah resolusi mengenai pembangunan terpadu yang difasilitasi melalui perencanaan sosial di antara sejumlah negara anggota PBB. Selain itu juga difasilitasi dengan berbagai penelitian tentang masalah sosial terkini, yang dapat mendorong pembangunan bagi pendekatan baru kesejahteraan sosial di dalam kaitannya dengan pembangunan dan dapat menghasilkan identifikasi indekator sosial.
Sebagaimana Marshall Wolfe (1980) tunjukan, para ahli di PBB juga memulai dengan menanyakan model perencanaan pembangunan ekonomi yang diadopsi tahun 1950-an. Sebagian besar perencana pembangunan pada waktu itu sangat tertutup dan hanya memperhatikan faktor ekonomi seperti misalnya investasi, perdagangan, dan pembangunan sektor ekonomi. Jarang sekali memperhatikan kondisi sosial atau munculnya sektor-sektor sosial. Lembaga perencanaan sosial pusat mempekerjakan staf khusus, terutama akhli-ahli ekonomi yang yakin bahwa kesejahteraan sosial akan meningkat dengan sendirinya sebagai hasil dari penciptaan kesempatan kerja dan berusaha. Di tahun 1960-an, asumsi tersebut terus mendapatkan kritikan dari berbagai ahli di bidang sosial.
Hasil dari model pembangunan demikian, banyak negara berkembang selama tahun 1970-an beramai-ramai menerapkan model tersebut dan kemudian memperluas lingkup lembaga perencanaan pusat ke lingkup organisasi perencanaan sosial. Divisi baru memperhatikan sektor perencanaan sosial, banyak melibatkan sosiolog, antropolog, dan ilmuwan sosial lainnya direkrut bersama dengan perencana ekonomi, yang kemudian merumuskan pembangunan di ranah sosial daripada ranah ekonomi yang dianggap sangat sempit. Pelatihan bari perencana sosial diselenggarakan oleh banyak negara berkembang dan lembaga pendidikan tinggi negara maju seperti misalnya London School of Economic (Hardiman dan Midley, 1980). Selanjutnya terus berkembang, banyak terbit literatur baru yang merumuskan peran perencana sosial yang dapat menyumbangkan konsep dasar yang dapat dipakai untuk pekerjaan mereka.
Selama tahun 1970-an, perencanaan nasional memulai merumuskan pembangunan dalam terminologi baru guna mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan derajat kehidupan manusia. Indikator sosial mulai digunakan untuk melengkapi indikator ekonomi. Rencana pengembangan juga termasuk adanya bab mengenai berbagai sektor misalnya pendidikan, kesehatan, pembangunan desa, perumahan dan pelayanan kesejahteraan sosial. Di banyak negara berkembang, perencana sosial mengamati untuk mengidentifikasi pandangan tentang peningkatan kesejahateraan manusia. Ketika banyak orang tertarik mengenai hambatan sosial dalam rangka modernisasi ekonomi seperti misalnya banyaknya aliran tradisional dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, kemudian yang lainnya menitik beratkan pada peranan eksploitasi, konsentrasi kekayaan, dan juga menjaga tekanan dari perubahan sosial progresif. Banyak juga yang peduli guna memobilisasi investasi dalam rangka membuka peluang bagi sumberdaya manusia. Atas dasar itu Gary Baker (1964), Federick Harbison (1973), dan Geroge Psacharopouls (1981) dan penulis lainnya, serta banyak ahli ekonomi mulai menerima bahwa investasi pemerintah di dalam pendidikan, kesehatan, dan berbagai program sosial lainnya akan dapat mendorong pertumbuhan pembangunan ekonomi. Idea tersebut telah secara luas digunakan sebagai suatu perencanaan bidang sosial secara sektoral dengan rasional. Di tahun 1980-an didasarkan pada perkembangan yang ada menjadikan hubungan yang tidak bisa dipisahkan antara perencanaan sosial dengan perencanaan ekonomi, yang selanjutnya mendorong suatu perencanaan pembangunan terpadu.
Selama tahun 1970-an akhir dan awal tahun 1980-an yang merupakan masa booming minyak dan pertumbuhan ekonomi yang dramatis dalam rangka globalisasi, banyak negara berkembang mempunyai banyak uang cadangan, sehingga banyak pemerintah negara berkembang justru mencari tambahan bantuan melalui obligasi kredit. Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia kemudian menyesuaikan kebijakannya sesuai dengan kondisi negara berkembang. Kebijakan tersebut secara tegas mengurangi peran intervensi pemerintah di bidang ekonomi, penyediaan kebutuhan sosial dan melakukan perencanaan sosial yang terbatas. Hasilnya, perencanaan sosial yang dibuat diadopsi tahun 1970-an banyak ditunda dan di banyak kasus tidak bisa dilanjutkan.
Namun, beberapa negara berkembang dapat mengatur dengan memilihara komitmen mereka untuk membuat perencanaan sosio-ekonomi yang terpadu. Perencanaan sentral tidak keseluruhannya ditunda atau tidak bisa berjalan, di banyak negara, banyak yang melakukan perbaruan komitmen bagi intervensi sosial. Sebagaimana biaya dari penyesuaian struktural telah disetujui, beberapa lembaga donor meminta pendekatan yang lebih halus dan menyetujui untuk mengadopsi program-program yang berupaya untuk mengurangi dampak negatif dari kondisi yang mengalami perubahan tersebut. Di tahun 1990-an, Bank Dunia menghargai banyak ahli pembangunan sosial yang menyebarluaskan laporan tentang kemiskinan dunia. Walaupun melalui suatu pendekatan ideologi dalam laporannya dirasa sangat berbeda dari yang telah digunakan oleh Bank Dunia. Di tahun 1970-an, komitmen untuk mengurangi kemiskinan ditandai dengan perhatian baru mengenai isu sosial. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa perencanaan sosial kemungkinan bisa diterima sebagai pendekatan yang dapat diterima guna mendorong pembangunan sosial.
Pendekatan perencanaan pembangunan terpadu, mengharapkan pemerintah utnuk menselaraskan antara perencanaan sosial dan ekonomi secara hati-hati. Pendekatan terpadu memberikan kesamaan penekanan antara pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial dan mengharap bahwa perencana ekonomi dan sosial saling tukar mengenai komitmen bersama guna meningkatkan kesejahteraan sosial manusia. Konsep demikian mengharuskan bahwa perencana pembangunan harus mempunyai pengalaman dan keahlian dalam menjalankan tugas dan mereka memerlukan pengalaman teknis guna merumuskan dan melaksanakan kebijakan ekonomi dan sosial secara efektif. Hal demikian juga memerlukan bahwa pemerintah harus mempunyai kepedulian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong kesejahteraan sosial. Hal itu tergantung pada investasi pemerintah, ahli teknis dan keinginan pemerintah itu sendiri. Ketika perencana sosial-ekonomi terpadu ada baiknya dilakukan kritik, karena pada umumnya hal demikian menggunakan model top-down oleh para teknokrat, kondisi sosial dan politik terkini harus juga kondusif untuk mendukung pendekatan terpadu.
Walaupun perencana sosial-ekonomi terpadu sudah dirumuskan dengan referensi khusus bagi negara berkembang, sesungguhnya juga cocok bagi negara maju. Di banyak negara maju, kebijakan sosial didasarkan atas pendekatan administrasi sosial yang telah diuraikan di dalam bab sebelumnya, dan program sosial agak sedikit terpisah dari upaya pembangunan ekonomi. Seringkali kebijakan sosial dirumuskan tanpa referensi dari kebijakan ekonomi, meskipun mereka sangat bergantung pada ekonomi dalam pembiyaannya. Sebagian dari masalah tersebut adalah sedikit negara maju memupua lembaga kebijakan yang terpusat yang bertanggung jawab untuk perncanaan sosial dan ekonomi. Alasannya adalah mereka menggunakan pendekatan perencanaan terpadu telah dengan jelas relevan bagi negara maju pula.

4.2 Pertumbuhan Ekonomi, Kesejahteraan dan Pemerataan
Pendekatan terpadu menghilangkan ketidakpuasan yang model ekonomi dengan ciri-ciri perencanaan pembangunan model awal. Model sebelumnya, diasumsikan bahwa pertumbuhan akan menciptakan banyak lapangan kerja, menyerap banyak tenaga kerja ke dalam sektor modern, meningkatkan pendapatan masyarakat dan akhirnya akan menghapus kemiskinan. Perencanaan terpadu berhadapan dengan asumsi tersebut di atas. Pendekatan terpadu menyatakan bahwa pertumbuhan sesungguhnya tidak cukup digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Menurut pendekatan terpadu, penganjur pendekatan ini menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan sosial khusus untuk pembangunan dan menghubungkan sumberdaya dari masyarakat melalui perencanaan sosial dan targetnya masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah, memperluas pendidikan, kesehatan dan program sosial lainnya. Karena perencanaan terpadu memerlukan keterlibatan pemerintah karena pemerintah mempunyai sumberdaya yang cukup untuk dialokasikan pada sektor sosial, termasuk pendistribusian kembali sumberdaya tersebut. Namun pendistribusian kembali implikasinya adalah bahwa pendekatan terpadu tidak berkesinambungan.
Di tahun 1970-an, banyak pembela dari pendekatan statis tentang pembangunan sosial mulai memperhatikan masalah-masalah ketidak-merataan atau ketimpangan. Mereka mengatakan bahwa masalah pertumbuhan ekonomi yang banyak diterapkan pada berbagai negara berkembang telah menghasilkan produksi luar biasa, tetapi tidak mampu mengurangi kemiskinan dan banyak melakukan perampasan hak asasi manusia. Tingkat pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang sangat tinggi. Kecenderungan pertumbuhan bagi 100 negara berkembang antara tahun 1970-an sampai 1980-an, Bank Dunia (1982) menemukan kebanyakan negara berkembang mencatat tingkat pertumbuhan income perkapitanya lebih dari 3 per tahun. Ahli-ahli ekonomi dari berbagai bidang setuju dan menyarankan bahwa negara berkembang yang menunjukan tanda-tanda yang baik atas dasar ciri-ciri pertumbuhan ekonomi tersebut. Peter Bower (1976) ahli ekonomi konservatif, mengkritik hal tersebut dengan sikap pesimistis, bahwa ciri-ciri atau tanda-tanda pembangunan ekonomi pada waktu itu menunjukan bahwa banyak negara berkembang mempunyai pengalaman kemajuan ekonomi dan pertumbuhan materi yang sangat cepat. Penulis aliran Marxist, Bill Warren (1980) setuju dengan penulis sebelumnya, bahwa pertumbuhan ekonomi mengandung suatu keberhasilan. Pendapat serupa disampaikan oleh ahli ekonomi liberal Michael Lipton (1977), yang mengatakan bahwa pada 25 (dua puluh lima) tahun yang lewat tampak pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan pengeluaran pengeluaran per orang meningkat dibanding dengan 20 tahun sebelumnya. Namun, disamping keberhasilan itu, semua ahli setuju dan mengatakan bahwa kemiskinan, kelaparan, tunawisma, dan berbagai masalah penyakit sosial lainnya di negara dunia ketiga masih terus muncul.
Dari kenyataan pertumbuhan ekonomi tidak berdampak terhadap pengurangan kemiskinan dan masalah di bidang sosial lainnya. Bagi ahli-ahli pembangunan sosial mengatakan bahwa dari kenyataan pertumbuhan ekonomi juga menimbulkan masalah lainnya seperti ketidakmerataan dalam distribusi. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya dituntut untuk tidak hanya untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik bagi orang miskin, melainkan juga untuk mencapai tujuan politis dan kepentingan para elit pemerintahan. Banyak ahli yang sependapat bahwa pertumbuhan ekonomi menimbulkan ketergantungan, kolonisasi, yang negara-negara sedang berkembang selalu dalam keadaan tereksploisasi oleh negara industri maju. Catatan lainnya adalah kepemilikan tanah, kelas menengah pedesaan dan tokoh informal lainnya mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan tidak proporsional dari pertumbuhan ekonomi, yang mereka itu terus-menerus melakukan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran di wilayah perdesaan. Banyak yang merasa bahwa pendekatan terpadu tidak mampu menghadapi permasalah yang demikian itu. Beberapa dari mereka menaruh perhatian terhadap kenyataan bahwa investasi sosial yang difokuskan di wilayah perkotaan dan kelompok orang miskin tidak terjangkau oleh program perluasan kegiatan sosial yang diperkenalkan.
Di tahun 1970-an, beberapa penulis mulai memperdebatkan mengenai perencanaan pembangunan yang memerlukan penekanan terhadap masalah yang langsung yakni ketidak-merataan. Gunnar Myrdal (1970) merupakan penganjur dari model pembangunan baru yang berorientasi pemerataan, mengatakan bahwa ketidakmerataan itu sesungguhnya merupakan konsekuensi dari modernisasi ekonomi. Dudley Seer (1972) mengkritik bahwa model pertumbuhan konvensional mengenai pembangunan tidak akan menghilangkan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi tidak untuk mengatasi masalah kemiskinan maupun masalah sosial lainnya. Pada tahun 1974 dilakukan studi mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketidak-pemerataan telah banyak dipublikasikan. Penelitian tersebut dilakukan bersama antara ahli ekonomi Bank Dunia dan Akademisi di Instutut Studi Pembangunan di Universitas Sussex (1974). Penelitian tersebut didasari atas pertanyaan apakah pertumbuhan dan pemerataan ada kaitannya. Penulis membantah bahwa pertumbuhan dan pemerataan berkaitan erat dan menjelaskan bahwa pemerintah berkuajiban meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan melakukan distribusi yang merata. Pengembangan perencanaan ekonomi model baru, dapat berupa berbagai kebijakan mengenai program yang secara khusus dapat mengurangi ketimpangan kepada kelompok orang miskin.
Pengembangan ide tersebut, Keith Griffin (1978) mengatakan bahwa pemerintah memerlukan investasi tentang kebijakan pendistribusian kembali sesuai harapan untuk melawan berbagai kepentingan elit politik yang selalu menganjurkan adanya perubahan sosial dalam rangka kesamaan hak asasi manusia. Terutma mengenai struktur feodal yang menjadi tuan tanah di banyak negara dunia ketiga dan dia yakin hal itu menjadi masalah yang dapat menimbulkan gerakan radikal di masyarakat. Michael Lipton (1977) menitik beratkan perhatiannya pada ketidakseimbangan antara desa-kota, yang wilayah perkotaan menjadi bias sebagai representasi dari keadaan dunia ketiga, karena ketidak seimbangan desa-kota tersebut. Akhir-akhir ini, wanita dalam keadaan terjepit yang menjadi perhatian penting para ilmuwan terutama yang melihat kesamaan hak mereka dilihat dari salah satu pendekatan pembangunan sosial. Sebagaimana diuraikan di depan, banyak penulis wanita menunjukan bahwa pengekangan wanita tidak hanya hal tertntu yang dilandasi oleh pandangan moral, tetapi juga sampai semua hal yang berkaitan dengan perubahan sosial.
Berbagai proposal telah dibuat untuk mengatasi masalah tersebut yang merupakan bagian dari ketidak-merataan dalam pembangunan. Hal tersebut termasuk penerimaan berbagai kebijakan yang dapat memobilisasi sumberdaya untuk membiyai penanganan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, penyediaan tempat tinggal, dan perlakuan tidak adil terhadap kaum miskin. Banyak penganjur dari pendekatan kesamaan hak asasi menganjurkan para pemimpin pemerintahan di dunia ketiga untuk mengurangi anggaran berlebihan dari militernya dan membuang-buang biaya untuk membangun prasarana yang tidak berguna, misalnya gedung pusat informasi, sarana olah raga, dan simbol prestisius nasional lainnya yang hanya menguntungkan sedikit orang penting dari warga negaranya.
Selain itu penulis wanita yang beraliran kesamaan hak asasi manusia mendorong pemerintah untuk menambah pengeluaran negara untuk penyediaan sarana sosial dan mementingkan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sosial lainnya terhadap warga negaranya. Penulis lainnya mendorong agar pemerintah juga melakukan perluasan investasi yang berupa penyediaan infrastruktur yang dapat memperkuat kemampuan produktivitas dari kelompok miskin. Ada juga yang menganjurkan untuk ketimpangan kondisi wanita baik dalam struktur masyarakat maupun di dalam kondisi tertindas maupun terpinggirkan. Keadaan struktural yang lainnya termasuk penguasaan lahan oleh masyarakat tertentu dan sistem feodal yang produktivitasnya menghidupi orang miskin di banyak negara berkembang. Kondisi lainnya lagi adalah nilai-nilai keagamaan yang mengekang, kesukuan, dan sistem kelas yang dapat menghambat munculnya ide-ide di dalam pembangunan. Selain itu juga sistem pasar yang dilandasi desa-kota yang tidak seimbang serta pembedaan wilayah di dalam mendapatkan akses sumberdaya, dan kondisi eksklusif lainnya terhadap wanita dan kelompok lainnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Jika pembangunan ekonomi dapat menguntungkan sebanyak mungkin orang, maka berbagai masalah dapat diselesaikan.
Para penganjur pendekatan kesamaan hak (hak asasi) menyadari bahwa faktor politik sangat berpengaruh secara signifikan jika pendekatan ini diterapkan lebih efisien. Penghargaan dapat disampaikan kepada sedikit pemerintahan yang secara antusias menerapkan pendekatan atas dasar hak asasi ini, dan mereka menyadari bahwa masih adanya tantangan dari berbagai pihak baik dari kelompok informal di daerah maupun dari tingkat internasional yang ingin menerapkan secara keras pendekatan perubahan sosial yang radikal. Meskipun, penganut aliran radikal itu di tahun 1980-an menjadi lemah di negara-negara dunia ketiga yang berkaitan dengan kepentingan geopolitis, yang negara Uni Sovyet dan negara Komunis Eropa Timur lainnya, pengaruh pendekatan kebebasan (hak asasi manusia) mengalami kemunduran. Walaupun pendekatan kebebasan terus berpengaruh di dalam khasanah pembangunan sosial sampai saat ini. Ketidak samaan hak masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

4.3 Kesejahteraan Sosial dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Perhatian terhadap pemerataan di dalam khasanah pembangunan sosial di tahun 1970-an tidak menyebar secara luas. Ketika sebagian ahli pesimis mengenai kemungkinan pemerintah dapat menerapkan pendekatan kebebasan di dalam strategi pembangunan sosial, pertanyaan lainnya muncul yakni untuk apa strategi semacam ini diperlukan. Paul Stenteen (1981) mendorong agar melihat bahwa strategi pembangunan sosial menjadi bagian penting dari pemerintah, terutama berkaitan dengan masalah-masalah pokok yang terjadi di masyarakat yakni kemiskinan dan ketimpangan di negara berkembang dalam hal distribusi sumberdaya. Beberapa penulis menjelaskan bahwa strategi demikian tidak cukup sederhana di dalam mendistibusikan kekayaan. Karena kasus kemiskinan merupakan hal yang sangat besar, pendistribusikan kembali kekayaan orang kaya terhadap orang miskin sangat sulit dilakukan. Ahli lainnya mengatakan bahwa pendekatan kesamaan hak di dalam strategi pembangunan sosial menimbulkan dampak negatif di dalam pendekatan pertumbuhan ekonomi. Sehingga ada yang menolak model perhitungan ekonomi yang mendasarkan pendistribusian kembali, namun ada yang memperbaiki pendekatan tersebut dengan antara model pertumbuhan dengan pemerataan secara harmonis. Meskipun mereka menyatakan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sesungguhnya bertolak belakang, strategi pembangunan yang mengatasnamakan kesamaan hak terus tumbuh berkembang dan dapat mengurangi orang miskin (Friedman, 1962).
Sekarang masanya atau musimnya bermunculkan pendekatan yang berdasarkan kebutuhan dasar. Ahli dalam pendekatan ini setuju bahwa pertumbuhan itu sendiri tidak akan menyebarkan kemiskinan secara luas di negara berkembang, dan menjadikan pesimistis terhadap model pembangunan konvensional yang menekankan upah pekerja dapat meningkatkan standart hidup. Ketika model demikian yang merupakan tranpormasi ekonomi dapat diterapkan dengan tepat di industri maju Eropa Barat, namun kurang bisa diterapkan di suatu masyarakat negara berkembang. Meskipun, ada tanda dengan adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, lapangan kerja sulit diwujudkan dalam skala yang besar untuk menyerap tenaga kerja atau buruh dari sektor usaha kecil sekalipun. Tambahan lagi, ketika upah tenaga kerja di sektor modern merupakan keberhasilan dari para perencana pembangunan, pertumbuhan yang cepat di sektor informal perkotaan dapat dengan sendirinya menyerap tenaga mereka sendiri, di banyak negara berkembang disarankan menjadi model pembangunan ekonomi konvensional. Masalah pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dan buruh menjadi perhatian khusus organisasi buruh internasional (ILO) yang mengkampanyekan suatu pendekatan kebutuhan dasar bagi mereka di tahun 1970-an.
Sebagaimana diuraikan dalam awal bab ini, ILO mulai tahun 1960-an menanyakan kelayakan strategi mengenai penciptaan lapangan kerja di negara-negara berkembang. Setelah melakukan studi secara mendalam di negara berkembang, pengorganisasian program tenaga kerja dunia menyimpulkan bahwa masa depan penciptaan lapangan kerja secara penuh secara teoritis tidak dapat diwujudkan karena sangat terbatas (Plant, 1983). Walaupun, ILO mendorong berbagai pemerintah untuk mendukung sektor informal yang mampu menyerap tenaganya sendiri, dan mampu meningkatkan standart hidup mereka sendiri serta masyarakat yang dapat memperluas pelayanan sosial maupun mampu meningkatkan kapasitas produksi bagi orang miskin. Rekomendasi ILO seperti di atas termasuk di dalam pendekatan kebutuhan dasar.
Pendekatan kebutuhan dasar secara resmi telah diterima oleh ILO di dalam konferensi dunia tentang tenaga kerja di Geneva pada tahun 1976. Konferensi tersebut dihadiri oleh perwakilan dari 121 negara, dan konferensi setuju bahwa masalah kemiskinan dan kesengsaraan di dunia ketiga memerlukan penanganan dengan segera. Ketika tujuan dari penciptaan tenaga kerja penuh dapat diwujudkan, sesungguhnya ada kemampuan serupa di masa depan. Jadi, yang lebih penting adalah pemerintah harus menekankan pemecahan masalah kemiskinan secara langsung daripada menunggu kemiskinan itu akan hilang jika ada perluasan kesempatan kerja. Walaupun harapan dari pertumbuhan ekonomi dapat secara bertahap mengurangi jumlah pengangguran yang bisa menyebabkan meluasnya perampasan hak-hak sosial, pemerintah harus mengadopsi berbagai ukuran untuk memenuhi kebutuhan dasarnya bagi warga negaranya.
Pendekatan kebutuhan dasar juga mendorong agar pemerintah menggunakan perencanaan sosial dan program pelayanan sosial bagi masyarakat dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan yang diperlukan bagi kelompok masyarakat miskin di negara berkembang. Kebutuhan dasar yang sangat mendesak dan diperlukan itu terdiri dari pertama, kebutuhan hidup dasar seperti gizi, air bersih, dan tempat berlindung. Kedua, kelompok kebutuhan dasar yang tidak begitu penting bagi kehidupan tetapi berkaitan dengan hak asasi sosial masyarakat yakni jaminan sosial bagi seluruh masyarakat. Kelompok ini terdiri dari kebutuhan mengenai pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial. Terakhir, merupakan kebutuhan yang berwujud non material yaitu dapat berupa kebutuhan akan partisipasi di dalam proses politik, perlindungan terhadap perlakukan diskriminasi dan kesamaan di dalam memperoleh kesempatan berusaha.
Walaupun para penganjur dari pendekatan kebutuhan dasar menyadari bahwa ada perbedaan yang besar di antara negara dalam melihat kebutuhan dasar yang telah dicapai, banyak negara menekankan pentingnya menjamin bahwa paling tidak kebutuhan dasar untuk hidup bagi semua orang dapat terpenuhi dengan memuaskan diwaktu dekat. Paul Streeten dan Shahid Burki (1978) meramalkan bahwa kebutuhan dasar untuk hidup berkisar 1.200 juta akan tidak terpenuhi kebutuhannya. Ketika upaya mengembangkan dibuat, masalah mengenai kelaparan muncul, tidak terpenuhinya tempat tinggal, air minum tidak tersedia dengan cukup. Para ahli meramalkan bahwa kira-kira 50% dari orang miskin dunia tidak tercukupi kalori yang masuk dalam tubuhnya, dari jumlah itu 2 per 3 nya tidak cukup protein serta sejumlah itu pula orang yang tidak terpenuhi kebutuhan air bersihnya. Kira-kira 42 persen mereka tinggal di rumah yang tidak cukup aman. Rumah yang memberi tambahan masalah, sehingga para penganjur pendekatan ini menyarankan kepada pemerintah melakukan langkah segera untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar bagi mereka yang dalam kondisi sangat miskin.
Penerimaan strategi tentang pemenuhan kebutuhan dasar menyangkut juga sejumlah program dan kebijakan. Pertama, pemerintah harus melakukan studi mendalam mengenai kebutuhan dasar, sehingga dapat ditentukan mana yang merupakan kebutuhan dasar dan mana yang dianggap sebagai strateginya untuk memenuhi kebutuhan dasar itu. Kedua, mengidentifikasi kelompok masyarakat yang memerlukan kebutuhan dasar tersebut dengan segera. Para pembela pendekatan kebutuhan dasar yakin bahwa sumber daya yang ditargetkan dalam menentukan orang yang sangat membutuhkan lebih penting daripada melakukan pelayanan sosial terhadap pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua orang. Dengan adanya target yang khusus maka diperlukan intervensi secara kelompok dan berdasarkan wilayah tertentu, yang para penganjur pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar memerlukan cara yang tepat untuk pelayanan sosial bagi orang miskin perkotaan dan bagi mereka yang betul-betul tidak berdaya. Ketiga, kebutuhan dasar meliputi juga program pembangunan khusus yang membutuhkan biaya yang sangat murah, menggunakan sumberdaya lokal, dan partisipasi seluruh masyarakat yang membutuhkan pelayanan sosial termasuk konsumsi. Di banyak negara berkembang, pelayanan sosial diadopsi dari model pelayanan sosial negara Barat memerlukan biaya besar dan terkadang tidak efisien. Program semacam memerlukan modifikasi tertetu dengan menyertakan kondisi lokal. Tambahan lagi, jika pelayanan sosial menyangkut banyak orang miskin, pada umumnya biaya dapat ditekan. Dengan menyertakan penduduk lokal dalam menentukan program dan pelayanan hal di atas dapat dilakukan dengan baik. Menyertakan penduduk lokal dalam program demikian juga bisa memperkuat proses dan pertanggungjawaban masyarakat bagi terwujudnya program sosial yang baru. Akhirnya, kebutuhan dasar memerlukan komitmen dari pemimpin nasional, perencana dan administrator serta lembaga-lembaga internasional dan pemerintah negara maju agar program pelayanan kebutuhan dasar dapat berhasil.
Streeten dan Burkis (1978) meramalkan bahwa dalam melaksanakan strategi pemenuhan kebutuhan dasar secara keseluruhan antara 30 milyar dolar AS sampai 40 milyar per tahun yang diperlukan untuk mewujudkan infrastruktur dan biaya untuk memenuhi pengiriman barang yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan kebutuhan dasar (termasuk nutrisi, air dan sanitasi lingkungan, perumahan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan) bagi warga sangat miskin di negara berkembang antara tahun 1980 sampai dengan tahun 2000. Memerlukan biaya antara 12 % sampai dengan 16 % dari rata-rata pendapatan nasional kotor serta 85 % dan 110 % untuk perbaikan sarana umum. Perkiraan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa negara berkembang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri tanpa bantuan dari negara lain.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, ”oil boom” dapat menambah pendapatan suatu negara dan juga meningkatkan hak-hak asasi masyarakat di akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an. Beberapa negara mengalami strategi pembangunan yang statis, hal ini tentu mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat di negara berkembang. Sebagaimana dialami banyak negara berkembang melakukan penyesuaian kebijakan yang diambilnya dengan jalan penyesuaian struktural dan mengurangi anggaran belanja sosialnya, program dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar yang telah ditundanya. Meskipun ada bantuan dana untuk strategi pelayanan dalam rangka program pemenuhan kebutuhan dasar, lembaga keuangan dari negara industri maju dan pemerintahnya memerlukan sumberdaya yang ada di dunia ketiga. Di pertengahan tahun 1980-an, bantuan mengalir ke negara sedang berkembang dan berakibat buruk, pengurangan bantuan terhadap pendekatan kebutuhan dasar pada tingkatan yang tidak memadai. Hal demikian tidak mengherankan karena kondisi sosial di banyak negara berkembang, khususnya di Afrika, Amerika Latin, dan negara Asia Tenggara mengalami kemunduran pada waktu itu.
Di sisi lain, pendekatan kebutuhan dasar telah secara luas diterima sebagai suatu yang yang potensial dalam rangka meningkatkan pembangunan sosial di negara-negara termiskin. Idea tersebut targetnya adalah sumberdaya orang miskin yang fokusnya yaitu daerah yang pendapatan perkapitanya sangat rendah sehingga dapat terbantu program tersebut. Diperlukan penyesuaian dalam program pelayanan sosial yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal sehingga program tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Meskipun menimbulkan dampak negatif dari kebijakan yang berdasarkan kondisi daerah tertentu, namun banyak lembaga internasional seperti WHO dan UNICEF secara luas dapat menerima progam peningkatan kebutuhan dasar dengan disertai penanganan sektor sosial secara khusus. Perlindungan terhadap kesehatan utamanya ibu hamil dan kesehatan bayi yang dilakukan oleh UNICEF diterima sebagai strategi khusus yang menghasilkan hasil yang memadai di banyak negara yang income perkapitanya rendah. Suksesnya pelaksanaan strategi demikian bahwa strategi pemenuhan kebutuhan dasar memang sangat diperlukan. Harapannya adalah bahwa perubahan yang terjadi di dalam politik internasional dan ekonomi menjadikan iklim baru yang di masa depan dapat diterima dan dapat memperkuat standar kehidupan bagi kelompok termiskin.

4.4. Pembangunan Berkelanjutan
Meskipun di negara berkembang hanya sedikit kesangsian tentang hasil pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai selama dekade perang dunia kedua, beberapa negara mulai mempertanyakan mengenai pentingnya pertumbuhan di dalam kerangka pembangunan nasionalnya. Sebagaimana diuraikan di depan, ahli ekonomi Gunnar Myrdal (1970) menjelaskan bahwa perlunya redifinisi atau konsep tentang pembangunan yang menyertakan faktor sosial ke dalam perhitungan dan hal itu telah disarankan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang konsep pembangunan disebut dengan perencanaan pembangunan sosio-ekonomi terpadu. Penulis lain seperti Edward Mishan (1967) menyatakan bahwa pencapaian terburu-buru mengenai pertumbuhan ekonomi di negara industri memerlukan biaya yang besar yang mengakibatkan kesengsaraan banyak orang. Hal itu disampaikan oleh Ernst Schumacher (1974) yang mengkritik penekanan industrialisasi di dalam kebijakan pembangunan dan mendorong untuk mengadopsi suatu pendekatan yang disebut ”kesetiakawanan-orang” dengan mengurangi ketidakmanusiawian yang menyertai pembangunan dalam skala besar-besaran. Penulis lainnya lagi seperti Barbara Ward dan Rene Dubos (1972) menekankan bahwa ada dampak negatif dari strategi pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang tinggi yakni kerusakan lingkungan fisik. Adanya pertumbuhan mengenai kesadaran masyarakat tentang masalah polusi dan kemunduran lingkungan hidup, mereka mendorong agar pengejaran tanpa belas-kasihan mengenai pertumbuhan ekonomi tidak menimbulkan masalah lingkungan. Barangkali pernyataan yang lengkap tentang isu kerusakan lingkungan telah dipublikasikan oleh ahli-ahli dari Institute Teknologi Massachusetts di pertemuan lingkungan hidup di Roma (Meadows, et al., 1972). Di dalam laporan tersebut diingatkan bahwa pengelolaan pembangunan bisa maju selangkah jikalau dapat mengendalikan penduduk dan meminimalisir dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap kerusakan lingkungan, yang hal demikian merupakan masalah serius bagi kehidupan umat manusia.
Sejak tahun 1970-an, kesadaran tentang masalah lingkungan global terus meningkat dan memberikan penghargaan kepada pemerintah yang dapat mengendalikan dampak negatif pembangunan dengan mengurangi polusi, erosi, penggundulan hutan, menghilangkan keanekagaman hayati dan bentuk-bentuk lainnya dari kerusakan ekologis. Sebagaimana di banyak bidang lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa bisa memainkan peranan penting untuk mendorong kesadaran manusia tentang isu lingkungan hidup. Di tahun 1972 yang pada waktu itu diselenggarakan Konferensi Dunia tentang Lingkungan Hidup di Stockholm dan dibentuknya Program Lingkungan Hidup PBB yang dihadiri banyak perwakilan negara-negar di seluruh dunia, kemudian banyak mengadopsi konvensi dan kesepakatan mengenai pentingnya lingkungan hidup. Setelah konferensi itu banyak tumbuh kesadaran mengenai pentingnya suatu tindakan nyata untuk menyelamatkan lingkungan. Banyak perencanaan pembangunan yang memperkenalkan kebijakan dengan menanggapi kerusakan lingkungan, dan menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya kebijakan khusus secara terpadu untuk melindungi lingkungan dari proyek-proyek pembangunan. Kehutanan sosial dan proyek pembangunan yang berbasis masyarakat mulai menjadi ciri mencolok dari program pembangunan pemerintah. Hal itu difasilitasi dengan perhatian yang besar mengenai pentingnya lingkungan dalam kerangka pembangunan.
Kepedulian lingkungan juga muncul di dalam tema-tema pembahasan penting yang tidak hanya mengenai masalah utama dari lingkungan hidup. Meskipun saling-keterkaitan antara masalah lingkungan, diskusi di dalam kerangka pembangunan dimulai dengan mengkaitkan antara isu ekologis dan pembangunan. Hal itulah yang kemudian menghasilkan suatu pendekatan yang disebut pendekatan ”ecodevelopment” (Farvar dan Glaeser 1979; Sach, 1984), yang kemudian mendorong munculnya konsep pembangunan berkelanjutan. Walaupun ide mengenai pembangunan berkelanjutan menghadapi secara nyata isu lingkungan, pembangunan berkelanjutan berupaya menghubungkan isu lingkungan dengan persoalan pembangunan yang utama, seperti misalnya pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan penduduk.
Michael Redckuft (1987) menjelaskan tentang konsep keberlanjutan di dalam bidang kehutanan dan pertanian untuk menjelaskan upaya mengisi kembali sumberdaya alam dengan mengelola sumberdaya alam tersebut dengan hati-hati. Meskipun konsep keberlanjutan diberbagai laporan dan publikasi untuk menjawab pertanyaan secara ekonomi dan sosial selama tahun 1970-an, konsep keberlanjutan sesungguhnya sudah dirumuskan dan dipopulerkan oleh Komisi Brundtland di tahun 1980. Komisi dunia tentang lingkungan telah dibentuk oleh PBB pada tahun 1983 di bawah kendali Mister Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, yang berupaya menguji hubungan antara pembangunan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Komisi dunia tersebut terdiri dari dua puluh dua (22) anggota dan menyelenggarakan perdebatan dari berbagai belahan dunia. Hasil pembahasan tersebut dipublikasikan pada tahun 1987 dan menyarankan untuk mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan di dalam strategi baru pembangunan.
Sebagaimana dirumuskan di dalam laporan Brundtland, para penganjut pembangunan berkelanjutan menyarankan bahwa semua kegiatan pembangunan harus mampu menyediakan kebutuhan manusia sekarang ini sekaligus memperhatikan kebutuhan generasi mendatang. Pembanguan berkelanjutan dimaksudkan bahwa kebutuhan generasi mendatang dapat terjamin ketersediaannya (Bank Dunia, 1992). Definisi khusus pembangunan berkelanjutan yang dikaitkan dengan konsep ekologi yaitu pembangunan dengan mengupayakan suatu proses yang menjamin sumberdaya alam dapat tersedia dan generasi mendatang secara terus menerus dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Pendekatan pembangunan yang demikian mengharuskan partisipasi masyarakat untuk menggunakan sumberdaya alam, tetapi menjamin generasi mendatang tidak kehabisan sumberdaya alam tersebut.
Keberhasilan menerima konsep pembangunan berkelanjutan memerlukan komitment pemerintah untuk selalu melindungi kepentingan lingkungan, dan diwaktu yang sama, komintment untuk selalu meningkatkan kesejahteraan manusia juga harus terus diupayakan. Para penganjut pendekatan pembangunan berkelanjutan menekankan bahwa harus adanya kesamaan perhatian antara kesejahteraan warga negaranya dengan kelestarian lingkungan. Mereka juga peduli tentang masalah kependudukan, meluasnya kemiskinan, dan berupaya untuk meningkatkan program pelayanan sosial secara nyata.
Ketika pembangunan berkelanjutan bersentuhan dengan lingkungan, hal itu tidak bersifat sempit yakni melindungi kepentingan lingkungan saja. Di banyak negara miskin, pengenalan peraturan hukum lingkungan tidak bisa diterapkan dengan baik karena mereka berhadapan dengan jutaan orang yang kesusahan dan bilamana mereka dikenai hukuman, mereka adalah sebagian besar penduduk negara tersebut. Dengan alasan ini, banyak pemerintah memerlukan konsep kebijakan dan program yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi serta sosial penduduknya dengan jalan tidak melakukan perusakan lingkungan hidupnya. Di lain pihak, pemerintah harus mengambil langkah segera yaitu membuat peraturan mengenai limbah industri dan proyek-proyek industri besar yang menimbulkan bencana lingkungan. Industri besar harus segera menerima kebijakan dan peraturan yang dapat menjamin perencanaan pembangunannya lebih memperhatikan kepentingan lingkungan. Selain itu industri besar juga harus menghubungan kebijakan lingkungan dengan usulan pembangunan daerah atau lokal melalui perluasan pendidikan lingkungan bagi penduduknya, menciptakan rangsangan dan meningkatkan kesadaran kepemilikan sumberdaya alam bersama.
Meskipun konsep mengenai pembangunan berkelanjutan dipopulerkan di dalam lingkup pembangunan, tuntutan yang dilakukan oleh para penganjur pendekatan pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan berkelanjutan menjadi paradigma baru pembangunan. Meskipun pembangunan peduli terhadap kemiskinan, pertumbuhan penduduk, dan masalah-masalah sosial, pembangunan sesungguhnya titik beratnya pada lingkungan, yakni ditekankan pada pentingnya keberadaan ekologi di dalam pembangunan. Pembangunan demikian sesungguhnya merupakan konsep yang masih kering, oleh sebab itu, masih memerlukan pembahasan secara teoritis jika konsep pembangunan tersebut digunakan untuk mendukung konsep pembangunan terpadu (Estes, 1993). Di sisi lain, para pembela isu lingkungan melakukan kritik penting dan menjadikan unsur kunci dari pendekatan pembangunan terpadu yang mengkaitkan hubungan harmonis antara perspektif ekonomi dan sosial.




















V. Daftar Pustaka :
James Midgley, 1995 Soscial Development : The Development Perspective in Social Welfare (hal 102 – 138), Sage Publication. London.